Bagi kaum buruh Indonesia, tahun 2012 akan selalu menjadi buah bibir paling seksi dalam berbagai diskusi. Setidaknya ada 5 ‘mazhab’ terkait fenomena perburuhan tahun 2012: 1. Sebagian menganggap beberapa peristiwa perburuhan di tahun itu adalah bukti sahih bahwa kaum buruh Indonesia telah memasuki zaman ‘Aufklarung’ dan mereka masih betah (terjebak) dalam romansa tahun tersebut sehingga sering lupa bahwa tahun telah berganti dan keadaan sudah berubah.
2. Sebagian lagi ada yang tetap menjaga kadar kekritisannya, mulai beranjak dari nostalgia kemenangan tahun 2012 dan mulai menganggap euforia telah berakhir dan kini harus bergerilya kembali membangun benteng-benteng kesadaran.
3. Sebagian lagi adalah yang disebut para penitip nasib yang ‘berjuang’ dengan metode ora ono et labora yakni berdoa tanpa bekerja alias berharap menikmati kenaikan upah hanya dengan bermodal doa atau istilah lainnya no action pray only.
4. Sebagian lagi adalah kaum pragmatis, yakni mereka yang tidak mau terlibat sejak hulu pergerakan dan lebih memilih terlibat di hilir pergerakan. Kaum buruh jenis ini dapat dijumpai di setiap aksi sweeping. Ketika disweeping mereka akan keluar bak pendekar tapi raganya sekejap menyublim ketika diajak diskusi (hulu).
5. Sebagian lagi adalah kaum apatis, yakni mereka yang sesuai kutipan Buya Hamka: ‘Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar kerja, kera juga bekerja’ Kaum buruh jenis ini tahunya hanya bekerja menyenangkan atasan dan jika ada pelanggaran ketenagakerjaan maka yang diucapkannya adalah “nrimo bae lah sing Gusti Alloh nanti yang balas”. Ketika ada aksi mogok apalagi demonstrasi, mereka lebih baik tetap bekerja. Jika ada sweeping, mereka akan keluar lalu di tengah jalan berbelok arah (kabur) pulang ke rumah. Berbeda dengan nomor 3, kaum buruh jenis ini sama sekali tidak mendukung bahkan sekedar lewat doa sekalipun. Kenaikan upah bagi kaum ini adalah semata-mata karena kebaikan pengusaha dan Gusti Alloh (ucap ala Aa Gym).
Kronologis 2012
Kaum buruh Indonesia cenderung menutup mata jika perjuangan buruh saat ini menjadi lebih terjal dibandingkan sebelum tahun 2012. Perlawanan kepada gerakan buruh pasca 2012 bukan hanya dilakukan oleh kaum pemodal sebagai seteru abadi tapi bisa dibilang kaum buruh menjadi lebih ‘yatim piatu’ dari sebelumnya. Mulai dari ormas bayaran hingga aparat kini semakin tidak malu-malu melakukan represifitas, setidaknya itu yang terjadi di kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara.
Semua dimulai akhir 2011 di kabupaten Bekasi, tepatnya mulai bulan November, saat penetapan UMK 2012. Gubernur Jabar telah menetapkan kenaikan UMK dari tahun sebelumnya sekitar 200 ribu. Pengusaha via Apindo menyatakan keberatan dan menggugat ke PTUN Bandung setelah sebelumnya mangkir di beberapa pertemuan tripartit. Gugatan Apindo dikabulkan yang membuat murka kaum buruh kabupaten Bekasi. Puncaknya hari Jumat tanggal 27 Januari, menjelang waktu sholat Jumat puluhan ribu buruh kabupaten Bekasi berhasil menduduki dan menutup jalan tol Cikampek, menyebabkan kemacetan luar biasa kali pertama dalam sejarah Indonesia, kurang lebih total kemacetan hingga 120 kilometer di Jabodetabek dan Karawang-Subang-Purwakarta. Presiden SBY mengadakan rapat darurat lalu mengutus 2 menteri menemui massa buruh di tengah-tengah demonstrasi. Itulah kali pertama 2 menteri turun menemui massa aksi dalam sebuah demonstrasi buruh (skala sektoral) terbesar di Indonesia. Pemerintah menyanggupi tuntutan buruh untuk membatalkan gugatan Apindo. Itu juga kali pertama (satu-satunya hingga kini) putusan UMK via jalur litigasi dikalahkan via mekanisme nonlitigasi (lewat tutup tol). Mungkin kata-kata seperti spektakuler atau menakjubkan tak cukup menggambarkan peristiwa tersebut.
Masih di tahun yang sama, tepatnya 252 hari setelah peristiwa tutup tol Cikampek, yakni hari Rabu tanggal 3 Oktober 2012, terjadilah peristiwa mogok skala nasional serentak di 22 propinsi dan 80 kota/kabupaten. Tuntutan yang diusung antara lain percepatan implementasi BPJS dan hapus outsourcing serta tolak upah murah. Sebenarnya ada beberapa tuntutan lainnya, namun yang fundamental adalah 3 hal tersebut dan yang menjadi ‘lokomotif’ dari ketiganya adalah penghapusan sistem kerja kontrak-outsourcing.
Mogok ini oleh kaum buruh disebut dengan istilah MONAS (jilid 1). Jika efek menutup tol Cikampek mampu menghasilkan sesuatu yang serba ‘kali pertama’ atau ‘satu-satunya’, maka aksi Monas ini pun tak kalah hebat. Implementasi BPJS disepakati awal tahun 2014 sesuai tuntutan kaum buruh. Sistem kerja outsourcing pun nyaris binasa saat itu, tapi akhirnya mengerucut menjadi Permen 19 tahun 2012 dimana ‘hanya’ menyisakan 5 sektor yang diperbolehkan walaupun pada prakteknya tidak seliteral Permen tersebut. Tapi setidaknya pasca Monas (jilid 1) yayasan-yayasan ‘Vampir’ penyalur tenaga kerja sempat mati suri beberapa bulan. Dan terakhir, kenaikan UMK tahun 2013 pasca Monas (jilid 1) benar-benar mencengangkan dengan rekor dipegang DKI Jakarta dengan persentase mencapai 44%. Daerah lain bervariasi mulai dari 25%-40%, tapi dalam skala pabrik per pabrik kenaikan UMK bisa mencapai 70%! Singkatnya, tahun 2012 benar-benar sesuatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya, khususnya bagi kaum buruh Indonesia
Membongkar 2012
Setelah mengetahui 5 ‘mazhab’ di atas serta yang terjadi di tahun 2012 maka timbul pertanyaan, apakah tahun tersebut memang pantas dijadikan standar acuan oleh kaum buruh? atau memang tahun 2012 hanyalah sebuah fenomena kebetulan yang tidak layak dijadikan acuan?
Pendekatan sederhana untuk menjawab pertanyaan di atas adalah dengan mengajukan pertanyaan sejenis namun dengan pembalikan kausalitas (sebab-akibat). Pertanyaan di atas bertolak dari sebuah kondisi setelah mengetahui kronologis kejadian serta dampak/akibat daripada itu. Maka dari itu, prakondisi yang menyebabkan kejadian tersebut akan menjadi syarat utama untuk menjawab pertanyaan di atas. Setidaknya ada 2 prakondisi yang menyebabkan pergerakan buruh di tahun 2012 begitu fenomenal, antara lain:
1. Sektoral: UMK yang sudah ditetapkan pemerintah (via gubernur) digugat oleh pengusaha (via Apindo) terlebih itu adalah upah minimum kawasan industri terbesar di Indonesia.
2. Nasional: Paket tuntutan buruh (Percepatan Pelaksanaan BPJS-Hapus outsourcing-Tolak Kenaikan Rendah UMK) diakomodir bahkan dikabulkan lebih dari 1 tuntutan.
Sedikit menjelaskan poin nomor 2, sebelum-sebelumnya tuntutan buruh (walaupun banyak) hanya diakomodir satu saja. Contoh: Batalkan revisi UU 13 tahun 2003 (tahun 2006), tolak kenaikan BBM, hapus kontrak-outsourcing (termasuk BUMN), bahkan sesudahnya (pasca 2012) pun demikian (contoh: libur nasional 1 Mei). Lebih rinci lagi yakni setiap aksi unjuk rasa, yang diakomodir (segera ditindaklanjuti) tak pernah lebih dari 1 tuntutan bahkan tuntutan seperti tolak kenaikan BBM atau hapus sistem kontrak-outsourcing BUMN belum pernah diakomodir (berhasil) sampai sekarang.
Dengan demikian setelah mendapatkan 2 prakondisi, kini tinggal mengajukannya menjadi 2 pertanyaan (berpijak pada prakondisi penyebab fenomena 2012)
seperti jumlah di atas:
1. Sektoral: Apakah ada contoh kasus perburuhan sebelum 2012 dimana pengusaha (Apindo) berhasil menggugat kenaikan UMK melalui mekanisme pengadilan?
2. Nasional: Apakah sebelum 2012 ada ‘lokomotif’ tuntutan yang bisa dijadikan penggerak seperti halnya tuntutan ‘hapuskan sistem kerja kontrak-outsourcing’ pada 2012 lalu?
Jawaban dari keduanya yaitu Tidak Ada!
Anomali 2012
Bila rangkaian di atas memakai pendekatan sederhana, maka di tahap ini penulis akan membawa pembaca kepada pendekatan yang berbeda, sesuai subjudul ‘Anomali’ maka tak sesuai bila memakai pendekatan biasa.
Dalam berbagai diskusi toleransi, Indonesia sebagai negara dengan penganut Islam terbesar dipuji oleh dunia internasional karena bisa membuat Islam dan demokrasi berjalan beriringan bahkan sampai ada yang menyimpulkan bahwa Islam cocok dengan demokrasi. Benarkah Islam cocok dengan demokrasi dengan bersandar pada contoh negara Indonesia? Kesimpulan tersebut oleh banyak kalangan dianggap terlalu naif mengingat banyaknya negara mayoritas muslim yang terjadi konflik atas nama agama dan menolak demokrasi. Hanya Indonesia negara dimana demokrasi dan Islam berjalan cukup mulus.
Di sini bukan untuk membahas demokrasi dan Islam, namun tentang sesuatu hal yang bersifat ‘kali pertama’ atau ‘satu-satunya’ tidak tepat jika dijadikan premis untuk menjustifikasi suatu kesimpulan. Begitupun dengan fenomena perburuhan di tahun 2012, sangat prematur bahkan cenderung tidak tepat menyatakan bila kualitas gerakan buruh Indonesia saat ini telah memasuki zaman ‘Aufklarung’ (pencerahan). Kita jangan mengatakan bahwa krisis dalam dunia Islam itu tidak ada hanya karena Indonesia (sebagai negara penganut Islam terbesar di dunia) berhasil membuat Islam dan demokrasi berjalan mulus, lantas konflik di negara-negara Islam dikemanakan?
Lebih baik berbesar hati secara jujur mengakui bahwa memang ada krisis dalam dunia keislaman. Tengoklah dunia kekristenan yang kini ‘hanya’ menyisakan Joseph Kony dan konflik Katolik-Protestan di Irlandia dari begitu banyaknya kekejaman (krisis) di masa lampau. Mengapa dunia kekristenan bertransformasi begitu progresif? Karena prinsip dasar ini: “Perbaikan tidak akan tercapai tanpa didahului pengakuan akan kesalahan”. Institusi-institusi resmi Katolik-Protestan mengakui kekejaman masa lampau dan meminta maaf secara resmi. Katolik-Protestan-Mormon kini bisa berdampingan dalam dunia kekristenan, kenapa Sunni-Syiah-Ahmadiyah tidak bisa?
Lebih baik para pejuang buruh jujur mengakui bahwa tahun 2012 bukanlah suatu pencapaian yang dirancang secara berjenjang dari tahun ke tahun. Akuilah bahwa peristiwa tutup tol Cikampek hingga mogok nasional pada tahun 2012 adalah suatu fenomena anomali, sebutlah itu kebetulan atau keberuntungan. Dan itu memang terkonfirmasi di tahun 2013 dan 2014 yang mana gerakan buruh relatif melempem sebagai dampak kualitas riil edukasi kaum buruh yang tidak merata dan masih bergantung kepada elit-elitnya. Sekali lagi, ‘Pengakuan adalah awal dari perbaikan’. Jangan jadikan sesuatu yang anomali sebagai pembenaran akan bobroknya kualitas edukasi kaum buruh. Pembenaran semacam itu hanya menciptakan fatamorgana keberhasilan kaum buruh.
Kunci Penentu 2012
Terlepas dari karakteristik anomali tentu keberhasilan pergerakan buruh tahun 2012 tetap menarik untuk dibedah, terutama adalah faktor penentu sukses saat itu. Ada beberapa pendapat tentang itu, antara lain:
1. Kebangkitan kaum buruh Indonesia yang baru saja dimulai di akhir 2011 yang
berakibat pada,
2. Tidak siapnya aparat dalam mengantisipasi gelombang aksi massa dalam
jumlah besar dan dalam waktu yang begitu serentak
3. Komposisi massa aksi yang didominasi oleh buruh kontrak-outsourcing
4. Baru terbentuknya aliansi raksasa yang terdiri dari 3 konfederasi terbesar
yaitu MPBI, ‘first love coalition’ yang membuat maksimalnya soliditas buruh.
5. Atmosfer politik yang mendukung gerakan buruh terkait beberapa pilkada
di daerah-daerah industri.
6. ‘Masa Pubertas’ penggunaan media sosial (Facebook) di kalangan buruh
yang membuat aliran propaganda (animo) mengalir deras sehingga berperan,
7. Memunculkan aksi-aksi spontanitas secara sporadis dan massif (via sweeping)
di hampir seluruh kawasan industri dalam waktu bersamaan.
Mengupas satu persatu dari ke 7 pendapat tersebut di sini nampaknya terlalu berlebihan, penulis hanya akan mengambil satu pendapat saja yang relevan dari judul dan subjudul tulisan ini. Adapun bila para pembaca hendak mengupas ke 7 pendapat di atas, baiknya dilakukan dalam diskusi yang diadakan di masing-masing sekretariat. Penulis hanya mengambil pendapat ketiga untuk dikupas karena relevan dengan pertanyaan di atas.
Bahan bakar paling utama dalam setiap aksi massa adalah para pesertanya, dan peserta aksi massa perlu dalil kuat agar mau terlibat sebagai massa aksi. Semakin banyak kuantitas massa maka semakin baik kualitas aksi massa, vice versa. Dalil tersebut terletak dalam berbagai tuntutan yang dilayangkan dan sedikitnya harus memuat aspirasi sebagian (kalau bisa seluruh) peserta aksi.
Pada 2012, diyakini bahwa buruh-buruh yang spartan cenderung beringas dalam melakukan aksi tutup jalan hingga sweeping pabrik-pabrik kebanyakan adalah buruh-buruh kontrak-outsourcing. Terlebih buruh yang masa kontraknya mau habis akan all out karena tidak punya beban, nothing to lose. Daripada diam menunggu kontrak habis lebih baik ikut demo dengan harapan diangkat jadi karyawan tetap, apalagi memang salah 1 tuntutan yang disuarakan adalah penghapusan sistem kerja kontrak-outsourcing ditambah mereka sudah paham bahwa pelanggaran PKWT akan berbuah PKWTT (pekerja tetap) nantinya. Dari segi psikologis, mereka yang tidak punya beban lebih mampu untuk mengerahkan segala yang dimiliki baik semangat, ide, tenaga sampai kadang-kadang melebihi dugaan dan harapan. Kontras dengan sebagian pekerja tetap yang cenderung terlalu berhati-hati karena sudah berada di zona nyaman.
Indikasi ini dalam berbagai diskusi perburuhan dianggap paling mendekati kebenaran dalam tema ‘Kapankah terjadi kembali pergerakan 2012?’. Selepas aksi tutup tol Cikampek dan MoNas (Mogok Nasional) pertama tersukses dalam sejarah, kemenangan merata dialami seluruh organ buruh. Bisa dibilang pasca tahun 2012 sampai pertengahan 2013, begitu banyak organ buruh menuai kesuksesan dalam tuntutan skala pabrik per pabrik. Contoh kasus PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pekerja harian-borongan-kontrak) banyak yang mendapat ‘durian runtuh’, ada yang baru bekerja beberapa hari langsung diangkat jadi pekerja tetap pasca pergerakan 2012. Ini dialami merata di seluruh serikat pekerja.
Andai semua federasi-konfederasi punya sistem pendokumentasian nasional secara terpadu, penulis yakin proses ‘kartapisasi’ (karyawan tetap) pasca MoNas 2012 adalah periode rekor PKWT menjadi PKWTT terbanyak dalam sejarah perburuhan. Maka kemudian ada perubahan komposisi massa aksi mulai pertengahan 2013 yang tadinya didominasi oleh pekerja PKWT, sejak itu menjadi didominasi oleh pekerja tetap. Namun demikian tidak semua pekerja PKWT mendapat durian runtuh, sebagian lagi justru kepalanya tertimpa durian runtuh alias kena PHK massal yang lalu digantikan dengan siswa/i SMA yang baru lulus sekolah yang mana usia maksimal pelamar pun kini (sebagian besar) sudah diturunkan dari 25 tahun menjadi 22 tahun. Imbasnya akibat perubahan komposisi massa aksi, kini pergerakan buruh tak butuh lama untuk mengalami penyumbatan. Buruh-buruh belia baru lulus sekolah tidak mudah untuk diajak berdiskusi apalagi terlibat demonstrasi. Di sisi lain para pekerja tetap yang baru diangkat mulai merasakan jerat zona nyaman dan menjadi tidak semilitan saat masih berstatus pekerja PKWT.
Teori ini bisa dilihat dalam contoh terbaru aksi massa buruh beberapa federasi/konfederasi di tahun 2014. Konfederasi KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) pada aksi nasional 16 September tahun 2013 mampu mengerahkan massa lebih dari 10 ribu buruh (rekor tersendiri KASBI) namun dalam aksi serupa di tahun 2014, massa buruh yang berpartisipasi hanya sekitar 3 ribuan padahal propaganda aksi 2014 jauh lebih gegap gempita dibanding tahun sebelumnya. Tak berhenti di sana, FSPMI yang pada 2011-2013 merupakan ‘Raja’ dalam demonstrasi buruh, pada tanggal 2 Oktober 2014 hanya mampu menerjunkan sekitar 4 ribuan massa buruh saja padahal propagandanya menjanjikan puluhan ribu buruh. Namun demikian tidak hanya 2 organ buruh tersebut yang mengalami penurunan intensitas, ini terjadi merata melanda seluruh organ buruh.
Antitesis vs Realita
Pembedahan secara objektif di atas hanya menyimpulkan satu kalimat: Dahsyatnya pergerakan buruh di tahun 2012 tidak berbanding lurus dengan kualitas pergerakan terutama kualitas para buruh itu sendiri. Namun jika kita mengacu pada Dialektika antara Spontanitas dan Organisasi yang ditelurkan oleh filsuf revolusioner Roxa Luxemburg, maka kesimpulan penulis bisa mendapat hantaman keras. Berikut penulis kutip singkat tulisan mengenai pemikiran Rosa Luxemburg dari Reza Alexander Antonius Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya:
“Salah satu konsep pemikiran Luxemburg adalah Dialektika antara Spontanitas dan Organisasi. Dalam arti ini spontanitas adalah pendekatan dari akar rumput untuk mengorganisir gerakan sosial yang berorientasi pada terciptanya keadilan. Dalam arti ini organisasi dan spontanitas bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan momen-momen yang saling terkait di dalam proses politik. Tidak ada organisasi tanpa spontanitas.
Setiap gerakan perubahan selalu lahir dari spontanitas, dan kemudian bergerak ke level yang lebih tinggi. Namun perlu juga diingat, bagi Luxemburg, spontanitas bukanlah suatu konsep abstrak. Ia merumuskannya dalam konteks pergerakan kaum pekerja di Eropa, terutama setelah revolusi di Russia pada 1905. Ia berulang kali menegaskan, bahwa organisasi tidak terbentuk dari pendekatan saintifik
rasional semata, tetapi dari spontanitas gerakan akar rumput yang lalu meluas. Inilah logika revolusi yang sesungguhnya, menurut Luxemburg. Namun permasalahan yang menjadi perhatian Luxemburg sebenarnya sama dengan permasalahan para pemikir Marxis jamannya, yakni bagaimana cara menciptakan perubahan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis melalui kekuatan kaum pekerja? Sampai kematiannya pada 1919, pertanyaan itu tidak terjawab.
Namun cerita tidak selesai disitu. Pada 1922 Paul Levi, mantan kekasih Luxemburg, menerbitkan pamflet yang ditulis oleh Luxemburg. Isinya adalah kritik tajam pada revolusi Bolshevik yang menghabisi kekuatan-kekuatan politik demokrasi di Russia. Stalin menerima pamflet itu, dan mengutuknya habis-habisan. Namun pamflet itu terus menyebar, dari Jerman, sampai ke Amerika Serikat. Menurut Rowbotham semangat revolusioner dari Luxemburg patut diteladani, mengingat gelombang revolusi melawan para tiran politik kini sedang terjadi di Timur Tengah.
Pada hemat saya semangat revolusioner Luxemburg, dan ajarannya soal dialektika spontanitas-organisasi, tidak hanya cocok untuk revolusi, tetapi untuk menggerakan perubahan di dalam organisasi apapun. Perubahan tidak lahir dari perencanaan semata, tetapi dari spontanitas akar rumput golongan bawah yang kemudian meluas, dan menerjang ke atas.
Indonesia gagal berubah karena gagal membangun dan meningkatkan intensitas spontanitas akar rumput. Akibatnya perubahan hanya retorika belaka, karena hanya merupakan rencana sepihak kaum atas, tanpa ada tenaga akar rumput (kelompok
bawah) untuk menghidupinya.”
Mengacu pemikiran Rosa Luxemburg tersebut, maka fenomena pergerakan buruh tahun 2012 mendapat penjelasan objektifnya dalam tataran filsafat yakni bahwa spontanitas massif dan serentak adalah komposisi terbesar yang memungkinkan fenomena buruh tahun 2012 terjadi sedemikian dahsyat.
Tapi dalam pengamatan penulis sebagai penggiat buruh, pendapat filsuf Roxa Luxemburg berdiri pada konteks ‘menghadapi penguasa tangan besi’ sedangkan kenyataan di tahun 2012 (pemerintahan SBY) dan sekarang (pemerintahan Jokowi) terlalu berlebihan jika mereka dilabeli sebagai pemimpin tangan besi seperti Stalin. Penulis lebih baik jujur saja mengakui bahwa kualitas para buruh di Indonesia sangat rendah. Titik. Pengakuan awal dari perbaikan. Titik. Kalau para buruh Indonesia memiliki kualitas pemikiran yang baik, sudah tentu sekarang ada partai buruh di gedung DPR. Kenyataannya? 4 kali partai buruh ‘hadir’ sejak pemilu 1999, sudah sampai mana? Perjuangan berbasis ideologi bukan berbahan bakar spontanitas melainkan dengan edukasi yang berjenjang dan berkesinambungan. Tengok butuh berapa tahun partai buruh di Inggris untuk berkuasa? Bukan dalam hitungan puluhan tahun tetapi butuh 1 abad! Tapi nampaknya para buruh di Indonesia masih takut bermimpi memiliki partai yang mewakili kaumnya sendiri, lebih suka menitipkan nasib mereka kepada para politikus yang sering mengucapkan mantra ‘dukunglah saya yang berpihak pada kalian (kaum buruh)’.
Renungan
Alangkah takabur lancang menyanggah pendapat seorang filsuf revolusioner sehebat Roxa Luxemburg. Tapi lebih baik lancang kepada filsafat daripada membuat kaum buruh Indonesia nyaman berlindung dalam ‘Benteng Spotanitas’ sehingga mahir menarasikan sebuah dongeng besar berjudul ‘Gebyar Gebyar Kebangkitan Buruh Indonesia’. Jangan pernah mau percaya bahwa kualitas berpondasi pada spontanitas, namun saat kaum buruh Indonesia sudah pada tahap kualitas yang mumpuni maka akan lahir spontanitas-spontanitas pergerakan yang sudah tentu berkualitas. Apakah kualitas kaum buruh Indonesia bisa dilihat secara kasat mata saat ini? Bisa.
Tahun 2015 adalah tahun kedua dimana hari buruh Internasional menjadi hari libur nasional. Khusus bagi kaum buruh Indonesia, Mayday harusnya menjadi aksi konsolidasi nasional dimana sejatinya dirayakan dengan cara memamerkan ‘senjata pusaka’ agar penguasa dan pengusaha serta seluruh rakyat bisa melihat seperti apa wujud asli ‘senjata’ tersebut yang pada tanggal 27 Januari 2012 pernah dipamerkan oleh buruh-buruh di kabupaten Bekasi dan pada 3 Oktober 2012 dipamerkan oleh buruh-buruh di 80 kota dan 22 Propinsi. Saat itu ‘senjata’ tersebut membuat para penguasa-pengusaha gemetar resah gelisah karena mampu melumpuhkan perekonomian sehingga mendatangkan kerugian luar biasa. Tapi hanya dengan begitulah para penguasa-pengusaha bisa menghormati kewibawaan kaum buruh karena memang sejarah Mayday itu sendiri meminta tumbal ratusan nyawa lebih dari 1 abad lalu untuk mewujudkan kerja 8 jam, upah layak, hak cuti, hak buruh perempuan, dan lain-lain yang menyangkut kesejahteraan kaum buruh.
Seharusnya dengan Mayday dijadikan libur maka kaum buruh Indonesia bisa lebih dahsyat memperlihatkan rupa seutuhnya dari ‘senjata pusaka’ kebanggaan kaum buruh. Biarlah perekonomian Indonesia lumpuh total 1 hari agar menjadi peringatan bagi penguasa-pengusaha betapa dahsyatnya ‘senjata pusaka’ tersebut. Namun di sinilah kualitas kaum buruh justru bisa terlihat dengan mata telanjang. Mayday libur malah dipakai lembur, Mayday libur malah dipakai berlibur, Mayday libur malah dipakai tidur, Mayday libur malah dipakai ………..ah sudahlah. Padahal saking takutnya para penguasa-pengusaha mendengar Mayday, mereka mau repot susah payah agar ‘senjata’ tersebut tidak dipamerkan oleh kaum buruh dengan berbagai cara, bahkan khusus di kabupaten Bekasi sebagai pusat industri terbesar di Asia Tenggara, aparat kepolisian dan militer sudah menongkrongi beberapa sekretariat (markas) buruh 1 hari sebelum Mayday.
Andai ‘senjata pusaka’ tersebut dipamerkan dengan kekuatan penuh maka konon akan membuat para buruh Indonesia beriman untuk melahirkan 1 entitas politik yang dipercaya akan mendominasi panggung kekuasaan. Maka dari itu, bagaimana caranya agar kaum buruh jangan sampai beriman demikian, dilakukanlah berbagai upaya yang intinya agar kaum buruh Indonesia tidak pernah melihat wujud utuh ‘senjata’ tersebut. Tentu siapa saja penggiat kaum buruh Indonesia yang hidup di zaman manapun tidak ada yang pernah melihat rupa utuh dari ‘senjata pusaka’ kaum buruh Indonesia yakni aksi massa total para buruh di seluruh Indonesia mulai dari buruh pabrik, buruh bangunan, buruh angkut, buruh cuci, buruh tani, buruh tambang, buruh tambak, hingga buruh perkebunan. Semua serentak turun ke jalan tidak hanya di 80 kota/kabupaten dan 22 propinsi saja, tapi di seluruh kota/kabupaten tanpa terkecuali. Sayang sekali, kaum buruh Indonesia hanya tinggal 1 langkah lagi untuk melihat ‘senjata pusaka’ ini. 1 langkah yang mungkin tidak akan pernah terwujud bahkan oleh spontanitas ala Roxa Luxemburg sekalipun. Penguasa-pengusaha sudah tahu kualitas buruh-buruh Indonesia akan lebih memilih istirahat di hari buruh.
Teringat sebuah kisah dari kitab Taurat milik penganut Yahudi tentang Musa, nabi terbesar kepunyaan bangsa Israel. Tuhan menjanjikan Musa dan bangsa Israel yang dipimpinnya sebuah ‘Tanah Pusaka’ untuk didiami. Suatu kali Musa melakukan kesalahan yang mendatangkan hukuman Tuhan. Ia tidak diperbolehkan memasuki ‘Tanah Pusaka’ namun hanya boleh melihatnya dari puncak sebuah gunung. Naiklah ia ke puncak gunung tersebut lalu dilihatlah seperti apa rupa ‘Tanah Pusaka’. Setelah melihat ‘Tanah Pusaka’ tersebut, sang nabi lalu meninggal tanpa pernah ada seorang pun dari bangsa Israel yang tahu letak kuburannya.
Para penggiat buruh yang mendaulat dirinya berkualitas (tak pernah berhenti belajar menambah wawasan) ibarat kisah Musa di atas, mereka telah ‘melihat’ seperti apa rupa ‘senjata pusaka’ kepunyaan kaum buruh Indonesia. Hanya ‘melihat’ saja, tapi tak pernah benar-benar melihat. Mereka yang telah ‘melihat’ terus akan berjuang mengedukasi para buruh sampai titik akhir penghabisan. Karena mereka punya keyakinan yang bisa dianggap sebagai finalitas iman bahwa nasib kaum buruh hanya bisa ditentukan oleh buruh itu sendiri tanpa perlu dititipkan pada para pejabat/politisi yang selalu mengaku-ngaku proburuh. Gerakan buruh harus melahirkan partai buruh yang akan memimpin negeri ini. Sebuah dongeng yang saat ini hanya akan tetap menjadi dongeng.
Penutup: Mari Bertaruh
Penurunan kuantitas massa sudah disinggung di atas. Seluruh organ buruh baik tingkat federasi maupun konfederasi tidak bisa dibantah mengalami penurunan tajam sejak aksi Mayday 2013. Sebelum itu, terutama periode akhir 2011-medio 2013 jika buruh mengancam akan menerjunkan puluhan ribu massa ya akan terwujud bahkan hingga jutaan massa. Namun sesudah itu, ancaman buruh mengalami penurunan bobot yang signifikan. Rabu tanggal 10 Desember 2014 kaum buruh Indonesia yang terpusat di Jabodetabek mengancam akan menerjunkan ratusan ribu buruh. Dalam kenyataannya hanya kisaran 15-20 ribu buruh. Namun demikian aparat gabungan TNI-POLRI mengerahkan kekuatan sangat besar dan terkesan berlebihan jika melihat jumlah aktual massa buruh. Penulis melihat beberapa tank baja diantara puluhan mobil-mobil tempur lainnya yang ada di dalam kawasan Monas. Ribuan tentara dan polisi berserakan dalam kawasan itu. Namun walaupun jumlah buruh yang terjun jauh dari yang digadang-gadang namun presiden Jokowi yang saat itu sedang di Korsel mengapresiasi dan akan melibatkan perwakilan buruh dalam penyusunan APBN.
Bagaimana dengan Mayday 2015? Di berbagai running text stasiun televisi tertulis jumlah buruh yang besok hadir mencapai lebih dari 150 ribu buruh. Seingat penulis, jumlah sedemikian besar terakhir terjadi pada Mayday 2013 yang merupakan puncak dari rangkaian pergerakan buruh yang dimulai sejak akhir 2011 hingga pra Mayday 2013. Dan aksi 10 Desember 2014 yang melibatkan 4 konfederasi (KSPSI-KSPI-KSBSI-KASBI) pun didahului pernyataan pengerahan massa sebesar ratusan ribu namun kenyataannya sangat jauh dari yang digadang-gadang.
Penulis seminggu ini berkeliling mengamati keadaan di kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara. Nyaris tidak terlihat atmosfer antusias Mayday seperti tahun-tahun sebelumnya. Pergerakan buruh di kabupaten Bekasi sangat penting mengingat di daerah inilah dongeng kebangkitan buruh Indonesia dimulai pada akhir 2011 lalu yang melahirkan peristiwa tutup tol Cikampek. Di berbagai media tertulis kabar bahwa Rieke ‘Oneng’ yang kadung dicap sebagai politisi pembela buruh oleh sebagian buruh meminta maaf karena sudah mengajak memilih Jokowi dan menghimbau kepada buruh untuk menduduki Istana Negara. Ah, drama apalagi yang anda mainkan, kak Rieke? Mending kak Rieke bertaruh saja dengan saya. Saya sangat yakin bahwa jumlah buruh yang akan ke Jakarta besok tidak akan mencapai 100 ribu. Mustahil mencapai angka segitu. Mencapai 50 ribu buruh saja sudah mukjizat kok. Wani piro taruhane?!
Sekedar catatan, Mayday tahun lalu massa buruh mencapai lebih dari 50 ribu tapi sebagian besar digiring ke GBK untuk mendukung salah 1 capres. Dan Mayday tahun ini berhembus kabar kencang akan didirikan 1 lagi partai buruh. Tapi prediksi saya massa buruh tidak akan mencapai 50 ribu. Namun terlepas dari itu saya mengucapkan selamat hari raya buruh internasional kepada seluruh buruh. Saya seperti biasa akan tetap merayakannya dengan berdemonstrasi turun ke jalan bersama kawan-kawan saya. Salam juang buruh! Hidup buruh!