Teologi Perut Versus Teologi 4 November 


4 tahun lalu terjadi peristiwa fenomenal di Indonesia, aksi tutup tol Cikampek yang dilakukan oleh ratusan ribu buruh yang ada di kawasan industri terbesar di Asia Tenggara. Hari itu, Jumat 27 Januari 2012, bagaimana tidak fenomenal? Kemacetan lalu-lintas akibat aksi tutup tol hari itu baru terurai menjelang tengah malam karena begitu parah mencapai ratusan kilometer, mulai dari Bandung-Cikampek-Subang-Purwakarta hingga seluruh Jabodetabek. Itu adalah kemacetan di hari kerja paling mengerikan dalam sejarah republik Indonesia. Hari yang bersejarah dalam pergerakan buruh Indonesia, presiden SBY saat itu sampai harus mengutus langsung 2 menteri, Hatta Radjasa dan Muhaimin Iskandar, untuk terjun ke tengah-tengah massa buruh yang membanjiri jalanan protokoler serta jalan tol di kabupaten Bekasi. Sepengetahuan penulis, itulah kali pertama dan satu-satunya sebuah aksi demonstrasi di Indonesia yang membuat 2 menteri sekaligus turun ke lapangan untuk menenangkan massa pendemo. Genap 250 hari kemudian, Rabu tanggal 3 Oktober 2012, kembali terjadi peristiwa tak kalah fenomenal yang dibuat kembali oleh kaum buruh yakni mogok nasional. Itu mogok nasional tersukses sejak Indonesia merdeka sampai dengan sekarang. 2 peristiwa perburuhan yang akan selalu diingat oleh mereka yang terlibat dan juga oleh mereka yang merasakan dampaknya. Khusus bagi kepolisian dan tentara, 2 peristiwa itu menjadi “kegagalan” yang tak boleh terulang di masa-masa mendatang karena terlalu banyak yang dipertaruhkan terutama dampaknya terhadap iklim investasi.

2 peristiwa di atas dilatarbelakangi oleh amarah kaum buruh, pada peristiwa pertama kemarahan dipicu akibat Apindo pimpinan Sofyan Wanandi memenangkan gugatan kenaikan upah regional Jabar di PTUN Bandung. Upah buruh saat itu yang naik sekitar 200 ribu rupiah (dari 1,2 juta) dibatalkan. Sudah upahnya cuma 1,2 juta dan begitu naik 200 ribu pun digugat. Sedangkan pada peristiwa kedua, rasa marah yang tak tertahankan meletus akibat praktik-praktik vampir outsourcing yang begitu menyengsarakan. Baik pada peristiwa kesatu maupun yang kedua, kemarahan kaum buruh di lapangan sangat konsisten dalam hal meneriakkan yel-yel “Bunuh! Bunuh Sofyan Wanandi!”. Orasi-orasi berbau SARA kepada para pengusaha Tionghoa begitu vulgar disuarakan hingga “tema kerusuhan  1998” pun tak luput dikumandangkan. Terdengar menyenangkan di telinga kaum buruh, terdengar mengerikan di telinga awam. Sofyan Wanandi yang notabene pengusaha berdarah Tionghoa, saat itu bagi kaum buruh, adalah iblis yang harus dibinasakan. Sofyan Wanandi dianggap sebagai satu-satunya orang yang paling bertanggungjawab terhadap penderitaan dan kesengsaraan kaum buruh Indonesia karena keberpihakannya pada politik upah murah. Ucapan-ucapan Sofyan Wanandi di media yang selalu memancing amarah kaum buruh begitu sering dijumpai ketika musim demo buruh berlangsung. Itu sebabnya, bagi kaum buruh Indonesia, darah Sofyan Wanandi halal untuk ditumpahkan. .

Tidak banyak yang diketahui awam, terutama bagi yang apatis, bahwa aksi 4 November besok memang sangat layak untuk diwaspadai. Mengabaikan aksi besok sebagai aksi recehan semata sama saja menutup mata terhadap suasana penuh kewaspadaan yang mana gejala dan gesturnya justru diperlihatkan oleh tokoh² kunci di negeri ini. Tengok saja yang terbaru, acara Mata Najwa semalam, para narasumber yang dihadirkan adalah kelas berat semua. Ketum PBNU, ketum Muhammadiyah, Ketua MPR, Kapolri, Panglima TNI, Menteri Agama, Ketua Wahid Institute (elemen yang dianggap sebagai perwakilan pemikiran almarhum Gus Dur-sosok yang pendapatnya begitu didengar berkenaan dengan masalah keberagaman). Bahkan Najwa mengutip pernyataan ketua DPR sebagai salah 1 materi perbincangan, artinya sampai ketua DPR pun “hadir” di sana. Para narasumber kelas berat dihadirkan kurang dari 48 jam sebelum aksi demo besok. Bahkan di acara semalam, Kapolri sampai mengeluarkan informasi baru nan segar bahwa akan menyampaikan panggilan kepada Ahok untuk diperiksa pada hari Senin tanggal 7 November yang sampai dikritisi sengit oleh Panglima TNI karena Kapolri dianggap melanggar prosedur penanganan hukum calon kepala daerah. Jelas bagian ini adalah bagian yang paling menyedot perhatian dalam acara semalam, 2 petinggi perwira beradu pendapat begitu tajam hingga harus “dinetralisir” oleh pendapat dari menteri Agama.

Beberapa jam sebelumnya, SBY mengadakan konferensi pers yang dalam salah satu pernyataannya menyinggung Ahok, yang intinya jika Ahok tidak diproses hukum maka sampai lebaran kuda pun aksi demonstrasi tidak akan selesai. Dan sehari sebelum konferensi pers SBY, presiden Jokowi mengundang 2 ormas Islam terbesar (PBNU dan Muhammadiyah) dan lembaga MUI berkaitan dengan agenda aksi 4 November. Dan sehari sebelumnya juga Jokowi “harus” bertandang ke kediaman Prabowo, pun salah 1 yang dibahas adalah tentang aksi 4 November. Rentetan kejadian di atas  jelang aksi demonstrasi besok, tak bisa disangkal semua terpusat pada sosok Ahok. Kontroversi tentang benar salahnya Ahok sendiri, sebagaimana keterangan Kapolri, masih dalam proses hukum. Sebenarnya secara simbolik kita pun dapat melihat bagaimana Ahok yang selama ini terkesan jumawa pada akhirnya menjadi pragmatis, itu bisa dilihat bagaimana Ahok menghindari pidato seusai pengambilan nomor urut paslon pilgub. Semua gestur² di atas secara jelas menggambarkan betapa aksi demonstrasi besok benar² tak bisa dianggap sebagai aksi recehan dan harus benar² kita waspadai bersama. 

Berlebihan kah jika kita menjadi khawatir dan takut? Apa kita mengamini saja apa yang dikatakan panglima TNI semalam bahwa gen rakyat Indonesia ini patriotik dan tidak mengenal takut, sehingga tak mempan untuk ditakut-takuti? Untuk itulah 2 alinea di awal menjadi pengantar untuk menafsir karena tidak ada 1 pun aksi demonstrasi besar dan berkala yang terpusat di ibu kota, pasca tumbangnya Soeharto, selain dari aksi demo buruh. Dengan mencari pembanding yang dianggap sepadan atau mendekati maka kita akan tahu berapa besar makna dan dampak dari demonstrasi esok hari.

2 aksi besar yang dilakukan oleh kaum buruh di tahun 2012, yang terlihat di permukaan hanyalah sebatas 2 peristiwa itu saja. Padahal di balik 2 aksi besar itu, didahului oleh aksi² kecil sampai menengah yang seperti tidak ada putusnya yang dimulai dari akhir tahun 2011. Bagi siapapun yang bekerja di kabupaten Bekasi antara bulan Oktober 2011 sampai minimal (aksi mogok nasional) 3 Oktober 2012, pasti melihat begitu banyak aksi² konvoi yang dilakukan ribuan buruh secara rutin. Yang terdokumentasi di media² mainstream adalah aksi tutup tol tanggal 11 dan 19 Januari, sebelum diakhiri dengan aksi epic di tanggal 27 Januari. Tapi aksi buruh yang dilakukan di kawasan industri kabupaten Bekasi tidak bisa dilepaskan dari percikan aksi buruh di Batam 23 November 2011 yang berakhir ricuh dan banyak melukai korban karena petugas keamanan sampai menembakkan peluru karet. Sumber kepolisian Batam mengatakan 12 ribu personel kewalahan menghadapi massa yang berjumlah lebih dari 20 ribu buruh. Solidaritas terhadap pengorbanan buruh² Batam membakar semangat buruh² di Jabodetabek (dimulai di kabupaten Bekasi) hingga melahirkan 2 aksi fenomenal: tutup tol Cikampek dan aksi mogok nasional. Praktis sejak akhir 2011 hingga akhir 2013, kurang lebih 24 bulan, aparat keamanan benar² dibuat kewalahan oleh frekuensi aksi massa yang dilakukan buruh.

Ada benang merah yang bisa ditarik berkenaan dengan aksi buruh periode akhir 2011 sampai akhir 2013 dengan aksi demonstrasi esok hari tanggal 4 November, yaitu frekuensi aksi dan solidaritas. Rumus pergerakan buruh yang membuat pontang panting aparat keamanan dan berpuncak pada mogok nasional 3 Oktober 2012 adalah ini: solidaritas aksi kawasan industri menuju aksi daerah, aksi daerah menuju mogok daerah, mogok daerah menuju mogok nasional. Tidak boleh ada 1 pun rangkaian dari rumus tersebut yang boleh terputus, 1 saja terputus (tidak dilaksanakan) maka mustahil bisa mencapai mogok nasional. Bagaimana dengan aksi esok? Hampir sama dengan rumus pergerakan buruh (walau rentangnya lebih pendek dikarenakan dimensinya pun berbeda) yakni:  solidaritas muslim di daerah menuju solidaritas muslim nasional (setara dengan rumus mogok daerah menuju mogok nasional).  Pada aksi buruh, 1 sosok yang dianggap iblis: Sofyan Wanandi. Pada aksi esok, ada 1 sosok yang dianggap setan durjana: Ahok. 

Aparat keamanan, berkaca pada pengalaman 24 bulan menangani “aksi tak henti²” dari kaum buruh, pasti paham betul bahwa aksi bela Islam yang dimulai tanggal 14 Oktober ini punya karakter yang hampir mirip dengan aksi kaum buruh walau durasinya belum seperti aksi buruh, tapi jumlah dan frekuensi aksi massa sejak demo tanggal 14 Oktober hingga sekarang sudah bisa dianggap sebagai aksi Marathon. Belasan kota besar sudah dihiasi aksi bela Islam dengan jumlah massa yang sangat banyak. Dengan pengalaman menangani aksi massif-marathon-sporadis yang dilakukan kaum buruh di masa jayanya (akhir 2011-akhir 2013), maka aparat keamanan sudah pasti belajar banyak untuk mengantisipasi aksi 4 November. Berterimakasih lah kepada kaum buruh untuk hal tersebut. 

Yang mengkhawatirkan bukanlah aksi besok hari, sekalipun berakhir ricuh. Bukan di sana letak kekhawatirannya. Seperti sudah diurai di atas, aksi massa kaum buruh yang mempersoalkan perut, durasi “kejayaannya” bisa sampai 2 tahun. Bayangkan, aksi massa 4 November  yang mempersoalkan keyakinan (yang tentu levelnya di atas masalah perut), durasi “kejayaannya” bisa berapa lama? Taruhlah menyamai aksi buruh, apakah sudah siapkan mental untuk melihat pemandangan demonstrasi “tak henti²” selama 2 tahun yang dilakukan oleh (terutama) kaum/ormas muslim garis keras? Jika aksi buruh yang bertumpu pada urusan perut sanggup memaksa 2 menteri turun ke tengah² massa buruh untuk menenangkan keadaan, lalu sejauh apa dampak aksi massa yang (diklaim) bertumpu pada urusan iman dan agama? Walau tak sebanding, tapi kita bisa memakai “teologi perut” kaum buruh untuk membaca seperti apa “teologi 4 November”. Setelah pembunuhan buruh Marsinah hanya ada buruh Sebastian yang rela mati (bunuh diri dari atap GBK) mengorbankan nyawanya untuk urusan kesejahteraan kaum buruh, bisa dihitung. Tapi sudah tak terhitung banyaknya orang yang bersedia dan rela mati demi agamanya. Jadi siapapun yang meremehkan aksi besok tidak perlu heran jika di hari-hari ke depan akan ada banyak aksi massa sejenis. 

*intermezzo, Salah 1 teman penulis adalah seorang anggota FPI. Beliau maghrib tadi berangkat ke ibu kota dan akan bermalam di sana bersama ribuan orang lainnya. Jadi bagi warga DKI, siap² yah sejak pagi hari besok. Berdoa lah agar demonstrasi besok berjalan aman dan kondusif. Yah kalaupun mau mendoakan yang jelek² kepada para pendemo, cukup doakan hujan turun. Jadi bukan hanya judul saja yang ada versus-nya, tapi juga pertarungan antara pawang hujan versus penurun hujan. 😛

AADD (Ada Apa Dengan Devy).

image

Sebagai pegiat buruh, ketika membaca sebuah postingan di FB (lihat gambar) yang menstigma gerakan buruh, maka saya putuskan kali ini mencoba menanggapi stigma tersebut. Sebenarnya gerakan buruh itu selalu cuek terhadap stigma yang ditujukan kepada dirinya, karena memang menghabiskan energi. Tapi hari ini entah kenapa saya kelebihan energi, maka tepat jika rasanya membuang kelebihan energi ini.

1. Bisa saya pastikan mbak Devy ini tuna sejarah, sejarah perburuhan khususnya. Formula 8 jam kerja-cuti haid-cuti keagamaan-cuti hamil-dll itu diperoleh dengan cara² demonstrasi. Ratusan nyawa jadi tumbal demi agar para pekerja hari ini bisa diperlakukan manusiawi seperti 8 jam kerja, dapat cuti haid, dapat cuti hamil, cuti keagamaan, dll. Itu semua tidak tiba² datang dari langit. Diperjuangkan. Bukan hanya “nrimo ing pandum, sing gusti Awloh yg bales”

2. Bisa saya pastikan mbak Devy ini punya mental “nrimo ing pandum, sing gusti Awloh yang bales, yang penting seperti kata paduka Jokowi: kerja kerja kerja!”. Tapi mbak Devy tahu nggak kalo guru² yang (mbak sebut) bergabung dalam wadah PGRI sampai butuh ‘pertolongan’ organisasi buruh untuk memperbaiki nasib dan kesejahteraannya? Atau tahu nggak kalau bidan PTT pun ikut menggantungkan nasibnya pada organisasi buruh? Nggak tahu yah? 2 elemen tersebut (guru dan bidan PTT) beberapa waktu lalu demo ke istana paduka Jokowi diorganisir oleh buruh lho, mbak Devi tahu nggak? Mereka ga “nrimo ing pandum” ala mbak Devy. Kalau cuma kerja kerja kerja, ya kera juga bekerja. Kalau sekedar hidup ya babi di hutan pun hidup. Itu kata seorang ulama terkemuka, Buya Hamka. Jadi kalau mbak Devy bilang guru dan bidan hanya menerima nasib saja, wah mungkin mbak Devy harus banyak mencari tahu lewat media² alternatif. Sudah banyak organisasi buruh memiliki website. Ada >100 federasi buruh dan sedikitnya 5 konfederasi buruh, monggo ngaji ke sana, mbak Devy.

3. Saya bisa pastikan mbak Devy ini adalah penstigma buruh, ketika melihat buruh² tengil (gitu kan?) lenggak lenggok di catwalk (jalan dicat, cat abu² aspal) pake hp harga 2 juta ke atas (atas nama bapa putra dan ah sudahlah, amin) langsung alam bawah sadar hasil stigma berkerak segera memvonis: “buruh kok gaya hidupnya seperti itu sih?!” Salah yah mengapresiasi diri, mbak? Belum tentu juga tuh buruh beli tunai, bisa juga nyicil. Atau mungkin yg mbak lihat adalah perilaku buruh² baru lulus sekolah, ya maklum namanya juga masih anak muda. Kalau buruh berkeluarga sih ya pasti gaya hidup hemat seperti keinginan mbak Devy. Tapi memang salah ya mbak punya gadget mahal? Cari hiburan di zaman IT gini kan paling gampang dengan gadget toh? Ibu saya pernah bilang, “kalau beli barang sekalian aja yang berkualitas dan barang berkualitas itu sudah pasti mahal. Daripada kamu beli barang murah tapi daya tahannya cuma sebentar dan cuma bisa puasin kamu sementara aja kan sayang duit kamu.” Ibu saya yg kolot saja mengerti soal kepuasan. Atau mbak Devy nggak mengerti tentang kepuasan? Yah intinya, yang mbak Devy lihat belum tentu seperti yang ada di pikiran mbak Devy. Atau memang mbak Devy punya hobi menghakimi?

4. Saya bisa pastikan bahwa mbak Devy hanya membaca media² mainstream tentang buruh tanpa mau mencari informasi² pembanding dari media² nonmainstream. Cara pandang mbak Devy terbentuk karena dicekoki media² mainstream. Dunia ketenagakerjaan itu bukan hitam putih seperti yg mbak lihat di media² mainstream. Banyak awam nggak pernah tahu bagaimana kesewenang²an para pengusaha di pabrik². Ya bagaimana mau tahu, wong media² mainstream dimiliki para pengusaha besar. Mbak Devy nggak akan pernah tahu berita buruh² yg jari atau tangannya buntung lalu didepak tanpa pesangon. Dicampakkan lebih² dari binatang. Mbak Devy nggak akan pernah tahu buruh perempuan sampai melahirkan di pabrik karena nggak dikasih cuti. Mbak Devy nggak akan pernah tahu ratusan buruh pabrik air ternama di Jakarta digaji 700 ribu sebulan dengan kerja hampir sebulan penuh. Ya, di Jakarta. Ya, pabrik air. Ya, merk air kemasan terkenal. Mungkin kalau saya sebut nama merk air kemasannya, mbak Devy mungkin pernah atau sering minum. Mbak mungkin nggak pernah tahu, di Jakarta, ada pabrik Hp yang jadi sponsor klub raksasa (bagi saya klub ini no 1) dunia menggaji buruh²nya di bawah 1 juta rupiah. Sementara aset perusahaan berlipat ganda bahkan bangun pabrik baru. Lalu ketika buruh²nya membentuk serikat malah didepak semena². Padahal hanya memperjuangkan hak normatifnya. Mbak Devy mana tahu realitas perburuhan seperti itu? Paling mbak hanya tahu kasus buruh² kuali di Tangerang yang dijadikan budak beberapa tahun lalu. Dijadikan budak. Kasus buruh² kuali tergolong ekstrem makanya media mau nggak mau harus memuat berita tersebut, kan seksi. Apalagi pengusahanya ecek² pulak, ya nggak akan dilindungi. Tapi kalau pengusaha bukan ecek²? Ya lihat saja baru² ini soal kebakaran hutan, pak menteri Luhut Panjaitan menutupi nama² perusahaan pembakar hutan. Lagipula untuk kasus² perburuhan yg saya sebut di atas tuh kurang ekstrem. Kalau mau ekstrem ya minimal harus seperti Salim Kancil, berani mati agar bisa disorot media. Kalau cuma buruh melahirkan di pabrik sih ya cincay lah. Btw, mbak Devy tahu Salim Kancil kan? Dalam konflik agraria, Salim Kancil itu adalah yang bisa terlihat oleh awam² seperti mbak Devy. Tapi bagaimana selain Salim Kancil? Ya sangat mungkin mbak Devy nggak pernah tahu, karena cuma baca media² mainstream saja. Banyak aktivis agraria di pelosok seperti Salim Kancil yang berjuang menghadapi keganasan premanisme, tapi ‘sayangnya’ nggak sampai tewas seperti Salim Kancil. Nah hal itupun berlaku dalam konflik perburuhan, mbak. Mbak Devy nggak akan pernah tahu realitas sebenarnya yang diderita para buruh. Tahunya (mungkin) hanya para buruh berdemo pakai motor Ninja, hahahahaha.

5. Saya bisa pastikan mbak Devy mengidap paranoid kronis. Ketakutan² ber-lebay-an akibat dosis mengkonsumsi media² mainstream terlalu tinggi. Saya sarankan mbak Devy berobat ke ‘pengobatan alternatif’. Tapi saya mudah²an bisa menyembuhkan mbak Devy. Ini informasi alternatif yang bisa saya sumbangsihkan kepada mbak Devy: sejak 2008 (krisis ekonomi imbas subprime mortgage-nya AS) sampai dengan sekarang, total 7 tahun media mainstream bersama pengusaha bersama pemerintah selalu menakuti-nakuti buruh dengan mantra ortodoks nan klasik “buruh jangan demo mulu, ntar investor lari”. 7 tahun sejak 2008, mantra tersebut diulang², tapi realitanya? Perekonomian Indonesia tetap bertumbuh. Bayangkan 2008-2009 itu krisis ekonomi lho (walau Indonesia nggak begitu terkena dampaknya) tapi apa buruh² puasa demo? Ya tetap saja demo keleus, sampai sekarang. Sampai pernah tutup tol tuh tahun 2012. Jadi kalau ada orang yang nakut-nakutin selama 7 kali berturut² tapi ga kebukti, disebut apakah orang tersebut? Pembohong, penipu, atau pendusta? Lalu kalau ada orang yang ditakuti+takuti selama 7 kali berturut-turut, walau ga pernah terbukti, eh tapi masih saja mau percaya, kita sebut apakah orang tersebut? Doyan dibohongi, kecanduan ditipu, atau maniak didustai? Mbak Devy, Indonesia ini terlalu seksi untuk ditinggalkan para investor.

6. Saya bisa pastikan bahwa mbak Devy nggak paham secara utuh terkait maraknya demo buruh belakangan ini mengenai apa. Tahunya hanya ini kan? —–>”buruh menuntut kenaikan upah tinggi”

Begini, mbak Devy. Memang kuartal akhir setiap tahun akan selalu marak demo buruh untuk menentukan upah tahun berikutnya. Intensitas demo buruh ini semakin kencang sejak Jokowi-Ahok memimpin DKI. Jakarta sebagai salah 1 patokan upah buruh, Ahok saat itu entah kerasukan apa, mengadakan rapat pengupahan secara terbuka. Singkatnya, dari kurun waktu 2007-2012 diketahuilah bahwa ada manipulasi atas besaran nilai KHL pada periode tersebut. Dalam sebuah stasiun televisi, Ahok mengatakan bahwa beliau sampai sengit debat via telepon dengan Sofyan Wanandi. Ahok (dan Jokowi) dicap gila oleh ex ketua Apindo tersebut karena menaikkan UMP DKI sampai 45% (700 ribu). Menurut Ahok manipulasi KHL selama periode 2007-2012 per tahun sebesar 100 ribu, dikali 5 menjadi 500 ribu. Lalu Ahok nambahin 200 ribu sebagai ‘kompensasi’ atas manipulasi tersebut. Dari kisah inilah, kaum buruh akhirnya menganggap bahwa selama ini mekanisme penentuan upah sarat manipulasi. Namun karena ‘kompensasi’ saat itu begitu besar yakni kenaikan sebesar 45% maka bahasan mengenai manipulasi tersebut sementara di-peti es-kan oleh kaum buruh. Berjalannya waktu, atau hari-hari belakangan ini dirilislah PP no 78 tahun 2015 yang meniadakan perundingan penentuan upah. Pemerintah sudah menetapkan rumus kenaikan upah berdasar inflasi+pertumbuhan PDB nasional. Bagi kaum buruh, PP tersebut melanggar amanat UU 13 2003 tentang ketenagakerjaan dimana salah satunya berisi tentang pelibatan unsur buruh dalam perundingan penentuan upah. Maka “luka lama” yang dulu di-peti es-kan muncul kembali. Prasangka kaum buruh bahwa pemerintah memang selalu mengorbankan buruh demi kepentingan pemodal bergulir kencang di kalangan buruh. Apalagi sebelumnya pengusaha sudah mendapatkan insentif melalui paket² kebijakan ekonomi. Maka kaum buruh merasa pemerintah tak perlu sampai mengutak-atik yang bersinggungan dengan kepentingan buruh salah satunya tentang penentuan upah. Kaum buruh ingin agar penentuan upah seharusnya seperti yang dilakukan Ahok, terbuka! Boro-boro secara terbuka, malah peran buruh dalam dewan pengupahan diamputasi dengan PP tersebut. Secara keseluruhan kaum buruh menganggap bahwa pemerintah dan pengusaha memang sudah tidak mau berunding lagi dengan buruh menyangkut kenaikan upah. Alasan utama pemerintah kenapa mengeluarkan PP 78 2015 salah satunya agar buruh tak perlu demo ke jalan mengawal perundingan upah. Hanya membuat jalanan macet dan menyebabkan gangguan sosial lainnya. Biar mbak Devy tahu, upah itu adalah urat nadinya buruh dan nyaris semua demonstrasi buruh (taruhlah 95%) itu terkait isu upah. Geliat pergerakan buruh mulai dari diskusi hingga aksi ditopang dan didominasi oleh isu upah. Jika peran buruh dalam dewan pengupahan diamputasi maka berdampak pada pergerakan buruh itu sendiri. Isu upah adalah lokomotif gerakan buruh. Dari lokomotif inilah lahir varian² aksi buruh nonupah seperti isu menolak outsourcing, dukung guru honorer dan bidan PTT menjadi PNS,  UU PRT, buruh tani, TKA, dll. Bahkan mahakarya gerakan buruh yakni BPJS kesehatan lahir karena lokomotif isu upah. Belum lagi dukungan kepada KPK dimana kita semua bisa lihat, pasukan buruh memakai atributnya dengan gagah membentengi gedung KPK walau hanya mendapat porsi secuil di media² mainstream. Inilah salah satu kenapa isu upah menjadi roh gerakan buruh. Toh sakleknya, ini bukan soal buruh mau naik upahnya tinggi atau bukan, toh tahun lalu UMP Jakarta naik hanya 10%, buruh DKI pada akhirnya bisa menerima. Menerima, karena penentuan upah DKI telah melewati mekanisme yang seharusnya. Terlepas dari hasilnya pihak buruh setidaknya dilibatkan, tidak seperti PP 78 tersebut yang mana peran buruh hanya kosmetik saja.

7. Saya bisa pastikan bahwa mbak Devy tidak pernah berdemo untuk kepentingan hajat orang banyak, khususnya untuk orang² yang kesejahteraannya memprihatinkan.

Dalam gerakan buruh, demonstrasi atau unjuk rasa itu bukan suatu hal yang spontan dilakukan. Ada proses berjenjang melalui diskusi yang berkesinambungan. Ketika saluran² diskusi telah tertutup maka terpaksa itu dilakukan. Mbak Devy mungkin nggak tahu bahwa demo buruh terkait PP 78 itu sebenarnya kaum buruh sudah melunak, yakni meminta pemerintah menunda sampai tahun depan dikarenakan sebelum keluarnya PP 78, mekanisme penentuan upah sudah berlangsung berbulan-bulan. Pihak buruh melakukan audiensi ke DPR,  dan rekomendasi DPR pun sudah keluar yang mana intinya meminta pemerintah menunda pelaksanaan PP tersebut. Mbak Devy tahu nggak soal ini: buruh melunak dan melakukan audiensi ke DPR? Apa tahunya buruh hanya bisa demo saja? Tapi pemerintah keukeuh. Buruh melunak pemerintah bersikeras, jadi di sini pihak mana yang keras kepala, mbak Devy? Nah karena sudah melunak tapi dilawan keras kepala, ya akhirnya buruh tidak punya jalan lain lagi, mbak Devy. Maka keluarlah buruh² bermotor Ninja serta buruh² bergadget harga >2 juta turuh ke jalan. Hahahahaha. Oh masih mau nyinyir buruh² tengil bermotor Ninja dan bergadget mahal? Buruh² yang sudah sejahtera mau turun ke jalan bersolidaritas untuk buruh² yang belum sejahtera, mbak Devy. Fenomena ini memang akan disangkal kelas menengah. Mana mongkeeeennn orang kaya mau berdemo demi orang miskin?! Utopis banget alias khayalan. Tapi itulah realitas yang terjari di alam buruh. Buruh sejahtera mau bersolidaritas untuk buruh belangsak hahahaha.

Tapi berapapun jumlah poin yang saya pastikan pada mbak, itu hanyalah hasil pemikiran manusia yang jauh dari sempurna. Bisa saja salah semua, bisa saja benar sebagian. Dan sesungguhnya kesempurnaan dan kepastian hanyalah milik Gusti Awloh saja, mbak Devy.

Tentang Demo Buruh 1 September 2015

4 bulan tiap akhir tahun bisa dibilang sebagai musim (demo) buruh, dimulai dari bulan September, tidak peduli siapa yang sedang menjabat sebagai presiden. Rutinitas seperti ini normal terjadi dalam gerakan buruh Indonesia karena biasanya setiap 1 November atau genap 2 bulan jelang akhir tahun akan diputuskan berapa besaran upah minimum tahun berikutnya maka 2 bulan sebelumnya sudah mulai ‘pemanasan’ kaum buruh yakni berupa aksi massa mulai dari skala regional (kota/kabupaten) hingga skala nasional.Tak dapat dipungkiri bahwa ‘lokomotif’ tuntutan yang dapat menarik massa buruh untuk mau turun demo secara besar-besaran sampai dengan sekarang yakni masih sekitar urusan perut. Sangat sulit menghimpun massa ribuan buruh dengan ‘lokomotif’ tuntutan semisal tolak kriminalisasi KPK meskipun sudah ada gerakan buruh yang menyasar ke isu korupsi. Namun makin berkembangnya gerakan buruh Indonesia pasca 2012, semakin sering kita lihat kaum buruh berdemonstrasi dengan skala massa ribuan untuk isu² nonperut, misalnya: BPJS, pilpres, bahkan setiap MayDay akan diwarnai puluhan hingga ratusan ribu massa buruh apapun tuntutan yang diusung.

Menanggapi aksi demo 1 September 2015 alias hari ini yang digadang-gadang mencapai tonase 50 ribu massa, benarkah akan tergenapi demikian? Obon Tabroni, jendral buruh dari Cikarang yang jadi inisiator tutup tol 2012 lalu, di beberapa media menyampaikan bahwa 25 ribu buruh dari kabupaten Bekasi akan diterjunkan ke Ibu Kota. Aktivis yang kini mencalonkan diri sebagai bupati Bekasi ini di mata loyalisnya (para buruh FSPMI), apalagi sejak 2012, sudah dianggap sebagai setengah dewa, suaranya menginspirasi dan pasti akan dipatuhi oleh buruh-buruh khususnya yang tergabung dalam organ FSPMI Kabupaten Bekasi. Jika yang dikatakannya 20 ribu maka yang terjun benar-benar 20 ribu, tidak akan berani aparat mengabaikan ucapan aktivis satu ini. Dan memang secara demografis perburuhan, kabupaten Bekasi adalah kota industri terbesar se-Asia Tenggara, ditambah FSPMI mendapat 2 kursi di dewan pengupahan kabupaten Bekasi yang mana per kursinya (berdasar pertemuan saya 2013 lalu di kantor bupati Bekasi dengan para pejabat disnaker setempat)  adalah sebanyak 19.000 buruh, maka minimal FSPMI punya anggota minimal sebanyak 38 ribu, maka angka 25 ribu buruh yang disebut Obon bukan berbasis khayalan.

Baiklah kita telah mendapat patokan pertama yakni massa sebanyak 25 ribu buruh, sisa 25 ribu lagi darimana? Sebagaimana yang kita ketahui aksi demo buruh hari ini adalah aksi gabungan dalam wadah GBI (Gerakan Buruh Indonesia) yang dikomandoi Said Iqbal (presiden KSPI) terdiri dari 40 federasi, bahkan KSPSI sebagai ‘seteru’ Said Iqbal mendukung aksi 1 September ini. KSPSI di kabupaten Bekasi mendapat 3 kursi dewan pengupahan, berarti minimal ada 57 ribu anggota. Praktis dengan hitungan atas kertas massa FSPMI dan KSPSI dari 1 wilayah (kabupaten Bekasi) saja sudah melebihi angka 50 ribu yang didengungkan. 1 kota industri dengan 2 organ buruh, cukup memenuhi angka 50 ribu, belum lagi puluhan organ buruh dari Bekasi dan di luar Bekasi yang diklaim akan ikut demo hari ini. Itu sebabnya Ahok pernah katakan di media bahwa buruh² yang demo ke ibu kota adalah buruh-buruh dari Bekasi.

Tuntutan demo hari ini, apakah soal perut atau nonperut? Mari kita simak:
1. Turunkan harga sembako dan BBM
2. Tolak PHK
3. Tolak Pekerja Asing
4. Perbaiki layanan BPJS kesehatan
5. Angkat karyawan kontrak/outsourcing sebagai karyawan tetap
6. Naikkan upah 2016 sebesar 22%
7. Revisi PP jaminan pensiun
8. Bubarkan PHI
9. Penjarakan Presdir PT Mandom
10. Tolak RPP pengupahan
11. Tolak MEA
Jadi ada 11 isu yang coba dipikul ke depan istana hari ini. Luar biasa banyak. Isu perut ada 2, yakni nomor 1,2,6,10 sisanya nonperut. Dengan demikian lengkap sudah lokomotif isunya, sangat lengkap tak ada yang tertinggal. Yang menarik adalah nomor 9 yang sangat menegaskan bahwa Agenda 1 September adalah milik KSPI yang dipimpin Said Iqbal, karena PT Mandom adalah anggota KSPI. Sekedar mengingatkan, PT. Mandom yang terbakar beberapa waktu lalu menewaskan puluhan buruh. Jadi secara teori potensi massa dan ‘lokomotif’ isu, seharusnya demo hari ini sanggup menjaring 50 ribu massa sesuai yang didengungkan. Apalagi terkait tuntutan nomor 2, buruh-buruh terPHK kemungkinan akan all out turun. Maka dari semua hitungan apapun, angka 50 ribu massa tidak mungkin tidak terpenuhi.

Ketika belum genap 2 bulan memerintah, tepatnya hari Rabu 10 Desember 2014, Jokowi untuk pertama kalinya dihadapkan pada demo buruh besar pertama. Saat itu saya sampai terkesima dengan penjagaan aparat keamanan, seperti mau persiapan perang. Di dalam kawasan monas, helikopter sampai tank baja diparkir. Tenda-tenda putih alias barak tentara berjumlah puluhan. Di bawah-bawah pohon ada ribuan polisi dan tentara. Bagi saya pemandangan waktu itu sangat berlebihan. Tapi mengapa begitu berlebihan? Karena demo 10 Desember 2014 pun digadang-gadang sebelumnya akan diikuti oleh 50 ribu massa. Entah kenapa angka 50 ribu massa menjadi favorit patokan, mungkin karena dulu ada gambar mbah Harto pada pecahan uang tersebut, hehehehe. Piye penak zamanku tho? Tapi bagi siapapun yang hadir ikut dan melihat demo tersebut, pasti sepakat dengan saya, bahwa massa buruh yang turun tidak lebih dari 20 ribu. Bahkan jelas terlihat lebih banyak personel keamanan dibanding massa buruh.  Tulisan saya sebelumnya yang agak panjang ‘Dongeng Besar Kebangkitan Buruh Indonesia’, sedikit banyak mengurai penurunan aksi massa buruh dari berbagai organ buruh dari tahun ke tahun pasca 2011-2012. Pada tulisan tersebut banyak penjelasan kenapa skala massa buruh mengalami penurunan dari waktu ke waktu dan itu terbukti hingga MayDay 2015 lalu yang terlihat sekali kemerosotannya dalam hal kuantitas massa buruh yang turun ke ibu kota. Jadi bagaimana tanggapan saya soal angka 50 ribu buruh? Tidak akan mencapai segitu, sudah bagus jika mencapai angka 20 ribu. Tapi bagi penggiat buruh yang sudah sadar, dia akan turun demonstrasi tak memikirkan angka-angka. Seperti saya yang hanya melihat tuntutan-tuntutan yang diperjuangkan.

Terakhir, bagaimana tanggapan berbagai pihak yang menuduh demo buruh hari ini sebagai pesanan dari mereka yang anti Jokowi? Seperti disebut di atas, mulai september memang musim demo buruh jadi tidak ada hubungannya dengan Jokowi. Dan catat ini, bahwa KSPSI dan KSBSI yang notabene adalah pendukung Jokowi pilpres lalu, ikut ambil bagian dalam demo hari ini. Bahkan demo 10 Desember tahun lalu pun demikian, KSPSI dan KSBSI ikut turun. Ini bukan soal anti Jokowi, lihat tuntutan-tuntutannya yang bahkan diselipkan tuntutan terkait PT Mandom, tragedi perburuhan terburuk. Dari saya sebagai penggiat buruh, silahkan saja menuduh macam-macam terhadap aksi buruh, toh memang sudah sejak dulu stigma itu melekat. Silahkan juga ikut menakut-nakuti bahwa para investor akan hengkang karena demo buruh hari ini, saya sudah bosan ditakut-takuti demikian. Sejak krisis 2008, 7 tahun kaum buruh selalu ditakut-takuti seperti itu, tapi entah kenapa selama 7 tahun ini pulak tidak pernah terbukti apa yang dituduhkan. Bahkan pabrik-pabrik semakin menjamur terutama di daerah-daerah yang upah minimumnya rendah. Apakah harus memasuki tahun ke 8 membuktikan bahwa Indonesia ini terlalu seksi untuk ditinggalkan para investor? Para penuduh ini juga harus pelajari baik-baik gerakan buruh, sewaktu krisis 2008-2009, para buruh malah makin gencar berkonsolidasi. Ratusan demo seluruh Indonesia mulai 2009-2011 yang melibatkan jutaan buruh inilah yang akhirnya melahirkan BPJS kesehatan yang kini dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Karena menutup jalan bikin macet dan bentrok dengan aparat sampai berdarah-darah maka BPJS itu lahir. “VIni Vidi Vici”: Buruh bikin Macet, Buruh bikin Kesal, Maka BPJS ada. Jadi yang nyinyir demo buruh, ingat-ingat nanti kalau akhirnya ditolong BPJS kesehatan, itu hasil dari bikin macet jalan dan hasil dari bikin investor takut berinvestasi, gitu kan kata “kalian”?

*tulisan ini dibuat dalam perjalanan menuju demo hari ini*

Dongeng Besar Kebangkitan Buruh Indonesia Dan Kenapa (Buruh) Harus Merayakan Mayday

image

Bagi kaum buruh Indonesia, tahun 2012 akan selalu menjadi buah bibir paling seksi dalam berbagai diskusi. Setidaknya ada 5 ‘mazhab’ terkait fenomena perburuhan tahun 2012: 1. Sebagian menganggap beberapa peristiwa perburuhan di tahun itu adalah bukti sahih bahwa kaum buruh Indonesia telah memasuki zaman ‘Aufklarung’ dan mereka masih betah (terjebak) dalam romansa tahun tersebut sehingga sering lupa bahwa tahun telah berganti dan keadaan sudah berubah.
      2. Sebagian lagi ada yang tetap menjaga kadar kekritisannya, mulai beranjak dari nostalgia kemenangan tahun 2012 dan mulai menganggap euforia telah berakhir dan kini harus bergerilya kembali membangun benteng-benteng kesadaran.
      3. Sebagian lagi adalah yang disebut para penitip nasib yang ‘berjuang’ dengan metode ora ono et labora yakni berdoa tanpa bekerja alias berharap menikmati kenaikan upah hanya dengan bermodal doa atau istilah lainnya no action pray only.
      4. Sebagian lagi adalah kaum pragmatis, yakni mereka yang tidak mau terlibat sejak hulu pergerakan dan lebih memilih terlibat di hilir pergerakan. Kaum buruh jenis ini dapat dijumpai di setiap aksi sweeping. Ketika disweeping mereka akan keluar bak pendekar tapi raganya sekejap menyublim ketika diajak diskusi (hulu).
      5. Sebagian lagi adalah kaum apatis, yakni mereka yang sesuai kutipan Buya Hamka: ‘Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar kerja, kera juga bekerja’ Kaum buruh jenis ini tahunya hanya bekerja menyenangkan atasan dan jika ada pelanggaran ketenagakerjaan maka yang diucapkannya adalah “nrimo bae lah sing Gusti Alloh nanti yang balas”. Ketika ada aksi mogok apalagi demonstrasi, mereka lebih baik tetap bekerja. Jika ada sweeping, mereka akan keluar lalu di tengah jalan berbelok arah (kabur) pulang ke rumah. Berbeda dengan nomor 3, kaum buruh jenis ini sama sekali tidak mendukung bahkan sekedar lewat doa sekalipun. Kenaikan upah bagi kaum ini adalah semata-mata karena kebaikan pengusaha dan Gusti Alloh (ucap ala Aa Gym).

Kronologis 2012

Kaum buruh Indonesia cenderung menutup mata jika perjuangan buruh saat ini menjadi lebih terjal dibandingkan sebelum tahun 2012. Perlawanan kepada gerakan buruh pasca 2012 bukan hanya dilakukan oleh kaum pemodal sebagai seteru abadi tapi bisa dibilang kaum buruh menjadi lebih ‘yatim piatu’ dari sebelumnya. Mulai dari ormas bayaran hingga aparat kini semakin tidak malu-malu melakukan represifitas, setidaknya itu yang terjadi di kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara.

Semua dimulai akhir 2011 di kabupaten Bekasi, tepatnya mulai bulan November, saat penetapan UMK 2012. Gubernur Jabar telah menetapkan kenaikan UMK dari tahun sebelumnya sekitar 200 ribu. Pengusaha via Apindo menyatakan keberatan dan menggugat ke PTUN Bandung setelah sebelumnya mangkir di beberapa pertemuan tripartit. Gugatan Apindo dikabulkan yang membuat murka kaum buruh kabupaten Bekasi. Puncaknya hari Jumat tanggal 27 Januari, menjelang waktu sholat Jumat puluhan ribu buruh kabupaten Bekasi berhasil menduduki dan menutup jalan tol Cikampek, menyebabkan kemacetan luar biasa kali pertama dalam sejarah Indonesia, kurang lebih total kemacetan hingga 120 kilometer di Jabodetabek dan Karawang-Subang-Purwakarta. Presiden SBY mengadakan rapat darurat lalu mengutus 2 menteri menemui massa buruh di tengah-tengah demonstrasi. Itulah kali pertama 2 menteri turun menemui massa aksi dalam sebuah demonstrasi buruh (skala sektoral) terbesar di Indonesia. Pemerintah menyanggupi tuntutan buruh untuk membatalkan gugatan Apindo. Itu juga kali pertama (satu-satunya hingga kini) putusan UMK via jalur litigasi dikalahkan via mekanisme nonlitigasi (lewat tutup tol). Mungkin kata-kata seperti spektakuler atau menakjubkan tak cukup menggambarkan peristiwa tersebut.

Masih di tahun yang sama, tepatnya 252 hari setelah peristiwa tutup tol Cikampek, yakni hari Rabu tanggal 3 Oktober 2012, terjadilah peristiwa mogok skala nasional serentak di 22 propinsi dan 80 kota/kabupaten. Tuntutan yang diusung antara lain percepatan implementasi BPJS dan hapus outsourcing serta tolak upah murah. Sebenarnya ada beberapa tuntutan lainnya, namun yang fundamental adalah 3 hal tersebut dan yang menjadi ‘lokomotif’ dari ketiganya adalah penghapusan sistem kerja kontrak-outsourcing.

Mogok ini oleh kaum buruh disebut dengan istilah MONAS (jilid 1). Jika efek menutup tol Cikampek mampu menghasilkan sesuatu yang serba ‘kali pertama’ atau ‘satu-satunya’, maka aksi Monas ini pun tak kalah hebat. Implementasi BPJS disepakati awal tahun 2014 sesuai tuntutan kaum buruh. Sistem kerja outsourcing pun nyaris binasa saat itu, tapi akhirnya mengerucut menjadi Permen 19 tahun 2012 dimana ‘hanya’ menyisakan 5 sektor yang diperbolehkan walaupun pada prakteknya tidak seliteral Permen tersebut. Tapi setidaknya pasca Monas (jilid 1) yayasan-yayasan ‘Vampir’ penyalur tenaga kerja sempat mati suri beberapa bulan. Dan terakhir, kenaikan UMK tahun 2013 pasca Monas (jilid 1) benar-benar mencengangkan dengan rekor dipegang DKI Jakarta dengan persentase mencapai 44%. Daerah lain bervariasi mulai dari 25%-40%, tapi dalam skala pabrik per pabrik kenaikan UMK bisa mencapai 70%! Singkatnya, tahun 2012 benar-benar sesuatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya, khususnya bagi kaum buruh Indonesia

Membongkar 2012

Setelah mengetahui 5 ‘mazhab’ di atas serta yang terjadi di tahun 2012 maka timbul pertanyaan, apakah tahun tersebut memang pantas dijadikan standar acuan oleh kaum buruh? atau memang tahun 2012 hanyalah sebuah fenomena kebetulan yang tidak layak dijadikan acuan?

Pendekatan sederhana untuk menjawab pertanyaan di atas adalah dengan mengajukan pertanyaan sejenis namun dengan pembalikan kausalitas (sebab-akibat). Pertanyaan di atas bertolak dari sebuah kondisi setelah mengetahui kronologis kejadian serta dampak/akibat daripada itu. Maka dari itu, prakondisi yang menyebabkan kejadian tersebut akan menjadi syarat utama untuk menjawab pertanyaan di atas. Setidaknya ada 2 prakondisi yang menyebabkan pergerakan buruh di tahun 2012 begitu fenomenal, antara lain:
     1. Sektoral: UMK yang sudah ditetapkan pemerintah (via gubernur) digugat oleh pengusaha (via Apindo) terlebih itu adalah upah minimum kawasan industri terbesar di Indonesia.
     2.  Nasional: Paket tuntutan buruh (Percepatan Pelaksanaan BPJS-Hapus outsourcing-Tolak Kenaikan Rendah UMK) diakomodir bahkan dikabulkan lebih dari 1 tuntutan.
     Sedikit menjelaskan poin nomor 2, sebelum-sebelumnya tuntutan buruh (walaupun banyak) hanya diakomodir satu saja. Contoh: Batalkan revisi UU 13 tahun 2003 (tahun 2006), tolak kenaikan BBM, hapus kontrak-outsourcing (termasuk BUMN), bahkan sesudahnya (pasca 2012) pun demikian (contoh: libur nasional 1 Mei). Lebih rinci lagi yakni setiap aksi unjuk rasa, yang diakomodir (segera ditindaklanjuti) tak pernah lebih dari 1 tuntutan bahkan tuntutan seperti tolak kenaikan BBM atau hapus sistem kontrak-outsourcing BUMN belum pernah diakomodir (berhasil) sampai sekarang.

Dengan demikian setelah mendapatkan 2 prakondisi, kini tinggal mengajukannya menjadi 2 pertanyaan (berpijak pada prakondisi penyebab fenomena 2012)
seperti jumlah di atas:
    1. Sektoral: Apakah ada contoh kasus perburuhan sebelum 2012 dimana pengusaha (Apindo) berhasil menggugat kenaikan UMK melalui mekanisme pengadilan?
    2. Nasional: Apakah sebelum 2012 ada ‘lokomotif’ tuntutan yang bisa dijadikan penggerak seperti halnya tuntutan ‘hapuskan sistem kerja kontrak-outsourcing’ pada 2012 lalu?
    Jawaban dari keduanya yaitu Tidak Ada!

Anomali 2012

Bila rangkaian di atas memakai pendekatan sederhana, maka di tahap ini penulis akan membawa pembaca kepada pendekatan yang berbeda, sesuai subjudul ‘Anomali’ maka tak sesuai bila memakai pendekatan biasa.

Dalam berbagai diskusi toleransi, Indonesia sebagai negara dengan penganut Islam terbesar dipuji oleh dunia internasional karena bisa membuat Islam dan demokrasi berjalan beriringan bahkan sampai ada yang menyimpulkan bahwa Islam cocok dengan demokrasi. Benarkah Islam cocok dengan demokrasi dengan bersandar pada contoh negara Indonesia? Kesimpulan tersebut oleh banyak kalangan dianggap terlalu naif mengingat banyaknya negara mayoritas muslim yang terjadi konflik atas nama agama dan menolak demokrasi. Hanya Indonesia negara dimana demokrasi dan Islam berjalan cukup mulus.

Di sini bukan untuk membahas demokrasi dan Islam, namun tentang sesuatu hal yang bersifat ‘kali pertama’ atau ‘satu-satunya’ tidak tepat jika dijadikan premis untuk menjustifikasi suatu kesimpulan. Begitupun dengan fenomena perburuhan di tahun 2012, sangat prematur bahkan cenderung tidak tepat menyatakan bila kualitas gerakan buruh Indonesia saat ini telah memasuki zaman ‘Aufklarung’ (pencerahan). Kita jangan mengatakan bahwa krisis dalam dunia Islam itu tidak ada hanya karena Indonesia (sebagai negara penganut Islam terbesar di dunia) berhasil membuat Islam dan demokrasi berjalan mulus, lantas konflik di negara-negara Islam dikemanakan?

Lebih baik berbesar hati secara jujur mengakui bahwa memang ada krisis dalam dunia keislaman. Tengoklah dunia kekristenan yang kini ‘hanya’ menyisakan Joseph Kony dan konflik Katolik-Protestan di Irlandia dari begitu banyaknya kekejaman (krisis) di masa lampau. Mengapa dunia kekristenan bertransformasi begitu progresif? Karena prinsip dasar ini: “Perbaikan tidak akan tercapai tanpa didahului pengakuan akan kesalahan”. Institusi-institusi resmi Katolik-Protestan mengakui kekejaman masa lampau dan meminta maaf secara resmi. Katolik-Protestan-Mormon kini bisa berdampingan dalam dunia kekristenan, kenapa Sunni-Syiah-Ahmadiyah tidak bisa?

Lebih baik para pejuang buruh jujur mengakui bahwa tahun 2012 bukanlah suatu pencapaian yang dirancang secara berjenjang dari tahun ke tahun. Akuilah bahwa peristiwa tutup tol Cikampek hingga mogok nasional pada tahun 2012 adalah suatu fenomena anomali, sebutlah itu kebetulan atau keberuntungan. Dan itu memang terkonfirmasi di tahun 2013 dan 2014 yang mana gerakan buruh relatif melempem sebagai dampak kualitas riil edukasi kaum buruh yang tidak merata dan masih bergantung kepada elit-elitnya. Sekali lagi, ‘Pengakuan adalah awal dari perbaikan’. Jangan jadikan sesuatu yang anomali sebagai pembenaran akan bobroknya kualitas edukasi kaum buruh. Pembenaran semacam itu hanya menciptakan fatamorgana keberhasilan kaum buruh.

Kunci Penentu 2012

Terlepas dari karakteristik anomali tentu keberhasilan pergerakan buruh tahun 2012 tetap menarik untuk dibedah, terutama adalah faktor penentu sukses saat itu. Ada beberapa pendapat tentang itu, antara lain:
     1. Kebangkitan kaum buruh Indonesia yang baru saja dimulai di akhir 2011 yang 
       berakibat pada,
     2. Tidak siapnya aparat dalam mengantisipasi gelombang aksi massa dalam
       jumlah besar dan dalam waktu yang begitu serentak
     3. Komposisi massa aksi yang didominasi oleh buruh kontrak-outsourcing
     4. Baru terbentuknya aliansi raksasa yang terdiri dari 3 konfederasi terbesar
       yaitu MPBI, ‘first love coalition’ yang membuat maksimalnya soliditas buruh.
     5. Atmosfer politik yang mendukung gerakan buruh terkait beberapa pilkada
       di daerah-daerah industri.
     6. ‘Masa Pubertas’ penggunaan media sosial (Facebook) di kalangan buruh
       yang membuat aliran propaganda (animo) mengalir deras sehingga berperan,
     7. Memunculkan aksi-aksi spontanitas secara sporadis dan massif (via sweeping)
       di hampir seluruh kawasan industri dalam waktu bersamaan.

Mengupas satu persatu dari ke 7 pendapat tersebut di sini nampaknya terlalu berlebihan, penulis hanya akan mengambil satu pendapat saja yang relevan dari judul dan subjudul tulisan ini. Adapun bila para pembaca hendak mengupas ke 7 pendapat di atas, baiknya dilakukan dalam diskusi yang diadakan di masing-masing sekretariat. Penulis hanya mengambil pendapat ketiga untuk dikupas karena relevan dengan pertanyaan di atas.

Bahan bakar paling utama dalam setiap aksi massa adalah para pesertanya, dan peserta aksi massa perlu dalil kuat agar mau terlibat sebagai massa aksi. Semakin banyak kuantitas massa maka semakin baik kualitas aksi massa, vice versa. Dalil tersebut terletak dalam berbagai tuntutan yang dilayangkan dan sedikitnya harus memuat aspirasi sebagian (kalau bisa seluruh) peserta aksi.

Pada 2012, diyakini bahwa buruh-buruh yang spartan cenderung beringas dalam melakukan aksi tutup jalan hingga sweeping pabrik-pabrik kebanyakan adalah buruh-buruh kontrak-outsourcing. Terlebih buruh yang masa kontraknya mau habis akan all out karena tidak punya beban, nothing to lose. Daripada diam menunggu kontrak habis lebih baik ikut demo dengan harapan diangkat jadi karyawan tetap, apalagi memang salah 1 tuntutan yang disuarakan adalah penghapusan sistem kerja kontrak-outsourcing ditambah mereka sudah paham bahwa pelanggaran PKWT akan berbuah PKWTT (pekerja tetap) nantinya. Dari segi psikologis, mereka yang tidak punya beban lebih mampu untuk mengerahkan segala yang dimiliki baik semangat, ide, tenaga sampai kadang-kadang melebihi dugaan dan harapan. Kontras dengan sebagian pekerja tetap yang cenderung terlalu berhati-hati karena sudah berada di zona nyaman.

Indikasi ini dalam berbagai diskusi perburuhan dianggap paling mendekati kebenaran dalam tema ‘Kapankah terjadi kembali pergerakan 2012?’. Selepas aksi tutup tol Cikampek dan MoNas (Mogok Nasional) pertama tersukses dalam sejarah, kemenangan merata dialami seluruh organ buruh. Bisa dibilang pasca tahun 2012 sampai pertengahan 2013, begitu banyak organ buruh menuai kesuksesan dalam tuntutan skala pabrik per pabrik. Contoh kasus PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pekerja harian-borongan-kontrak) banyak yang mendapat ‘durian runtuh’, ada yang baru bekerja beberapa hari langsung diangkat jadi pekerja tetap pasca pergerakan 2012. Ini dialami merata di seluruh serikat pekerja.

Andai semua federasi-konfederasi punya sistem pendokumentasian nasional secara terpadu, penulis yakin proses ‘kartapisasi’ (karyawan tetap) pasca MoNas 2012 adalah periode rekor PKWT menjadi PKWTT terbanyak dalam sejarah perburuhan. Maka kemudian ada perubahan komposisi massa aksi mulai pertengahan 2013 yang tadinya didominasi oleh pekerja PKWT, sejak itu menjadi didominasi oleh pekerja tetap. Namun demikian tidak semua pekerja PKWT mendapat durian runtuh, sebagian lagi justru kepalanya tertimpa durian runtuh alias kena PHK massal yang lalu digantikan dengan siswa/i SMA yang baru lulus sekolah yang mana usia maksimal pelamar pun kini (sebagian besar) sudah diturunkan dari 25 tahun menjadi 22 tahun. Imbasnya akibat perubahan komposisi massa aksi, kini pergerakan buruh tak butuh lama untuk mengalami penyumbatan. Buruh-buruh belia baru lulus sekolah tidak mudah untuk diajak berdiskusi apalagi terlibat demonstrasi. Di sisi lain para pekerja tetap yang baru diangkat mulai merasakan jerat zona nyaman dan menjadi tidak semilitan saat masih berstatus pekerja PKWT.

Teori ini bisa dilihat dalam contoh terbaru aksi massa buruh beberapa federasi/konfederasi di tahun 2014. Konfederasi KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) pada aksi nasional 16 September tahun 2013 mampu mengerahkan massa lebih dari 10 ribu buruh (rekor tersendiri KASBI) namun dalam aksi serupa di tahun 2014, massa buruh yang berpartisipasi hanya sekitar 3 ribuan padahal propaganda aksi 2014 jauh lebih gegap gempita dibanding tahun sebelumnya. Tak berhenti di sana, FSPMI yang pada 2011-2013 merupakan ‘Raja’ dalam demonstrasi buruh, pada tanggal 2 Oktober 2014 hanya mampu menerjunkan sekitar 4 ribuan massa buruh saja padahal propagandanya menjanjikan puluhan ribu buruh. Namun demikian tidak hanya 2 organ buruh tersebut yang mengalami penurunan intensitas, ini terjadi merata melanda seluruh organ buruh.

Antitesis vs Realita

Pembedahan secara objektif di atas hanya menyimpulkan satu kalimat: Dahsyatnya pergerakan buruh di tahun 2012 tidak berbanding lurus dengan kualitas pergerakan terutama kualitas para buruh itu sendiri. Namun jika kita mengacu pada Dialektika antara Spontanitas dan Organisasi yang ditelurkan oleh filsuf revolusioner Roxa Luxemburg, maka kesimpulan penulis bisa mendapat hantaman keras. Berikut penulis kutip singkat tulisan mengenai pemikiran Rosa Luxemburg dari Reza Alexander Antonius Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya:

“Salah satu konsep pemikiran Luxemburg adalah Dialektika antara Spontanitas dan Organisasi. Dalam arti ini spontanitas adalah pendekatan dari akar rumput untuk mengorganisir gerakan sosial yang berorientasi pada terciptanya keadilan. Dalam arti ini organisasi dan spontanitas bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan momen-momen yang saling terkait di dalam proses politik. Tidak ada organisasi tanpa spontanitas.

Setiap gerakan perubahan selalu lahir dari spontanitas, dan kemudian bergerak ke level yang lebih tinggi. Namun perlu juga diingat, bagi Luxemburg, spontanitas bukanlah suatu konsep abstrak. Ia merumuskannya dalam konteks pergerakan kaum pekerja di Eropa, terutama setelah revolusi di Russia pada 1905. Ia berulang kali menegaskan, bahwa organisasi tidak terbentuk dari pendekatan saintifik
rasional semata, tetapi dari spontanitas gerakan akar rumput yang lalu meluas. Inilah logika revolusi yang sesungguhnya, menurut Luxemburg. Namun permasalahan yang menjadi perhatian Luxemburg sebenarnya sama dengan permasalahan para pemikir Marxis jamannya, yakni bagaimana cara menciptakan perubahan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis melalui kekuatan kaum pekerja? Sampai kematiannya pada 1919, pertanyaan itu tidak terjawab.

Namun cerita tidak selesai disitu. Pada 1922 Paul Levi, mantan kekasih Luxemburg, menerbitkan pamflet yang ditulis oleh Luxemburg. Isinya adalah kritik tajam pada revolusi Bolshevik yang menghabisi kekuatan-kekuatan politik demokrasi di Russia. Stalin menerima pamflet itu, dan mengutuknya habis-habisan. Namun pamflet itu terus menyebar, dari Jerman, sampai ke Amerika Serikat. Menurut Rowbotham semangat revolusioner dari Luxemburg patut diteladani, mengingat gelombang revolusi melawan para tiran politik kini sedang terjadi di Timur Tengah.

Pada hemat saya semangat revolusioner Luxemburg, dan ajarannya soal dialektika spontanitas-organisasi, tidak hanya cocok untuk revolusi, tetapi untuk menggerakan perubahan di dalam organisasi apapun. Perubahan tidak lahir dari perencanaan semata, tetapi dari spontanitas akar rumput golongan bawah yang kemudian meluas, dan menerjang ke atas.

Indonesia gagal berubah karena gagal membangun dan meningkatkan intensitas spontanitas akar rumput. Akibatnya perubahan hanya retorika belaka, karena hanya merupakan rencana sepihak kaum atas, tanpa ada tenaga akar rumput (kelompok
bawah) untuk menghidupinya.”

Mengacu pemikiran Rosa Luxemburg tersebut, maka fenomena pergerakan buruh tahun 2012 mendapat penjelasan objektifnya dalam tataran filsafat yakni bahwa spontanitas massif dan serentak adalah komposisi terbesar yang memungkinkan fenomena buruh tahun 2012 terjadi sedemikian dahsyat.

Tapi dalam pengamatan penulis sebagai penggiat buruh, pendapat filsuf Roxa Luxemburg berdiri pada konteks ‘menghadapi penguasa tangan besi’ sedangkan kenyataan di tahun 2012 (pemerintahan SBY) dan sekarang (pemerintahan Jokowi) terlalu berlebihan jika mereka dilabeli sebagai pemimpin tangan besi seperti Stalin. Penulis lebih baik jujur saja mengakui bahwa kualitas para buruh di Indonesia sangat rendah. Titik. Pengakuan awal dari perbaikan. Titik. Kalau para buruh Indonesia memiliki kualitas pemikiran yang baik, sudah tentu sekarang ada partai buruh di gedung DPR. Kenyataannya? 4 kali partai buruh ‘hadir’ sejak pemilu 1999, sudah sampai mana? Perjuangan berbasis ideologi bukan berbahan bakar spontanitas melainkan dengan edukasi yang berjenjang dan berkesinambungan. Tengok butuh berapa tahun partai buruh di Inggris untuk berkuasa? Bukan dalam hitungan puluhan tahun tetapi butuh 1 abad! Tapi nampaknya para buruh di Indonesia masih takut bermimpi memiliki partai yang mewakili kaumnya sendiri, lebih suka menitipkan nasib mereka kepada para politikus yang sering mengucapkan mantra ‘dukunglah saya yang berpihak pada kalian (kaum buruh)’.

Renungan

Alangkah takabur lancang menyanggah pendapat seorang filsuf revolusioner sehebat Roxa Luxemburg. Tapi lebih baik lancang kepada filsafat daripada membuat kaum buruh Indonesia nyaman berlindung dalam ‘Benteng Spotanitas’ sehingga mahir menarasikan sebuah dongeng besar berjudul ‘Gebyar Gebyar Kebangkitan Buruh Indonesia’. Jangan pernah mau percaya bahwa kualitas berpondasi pada spontanitas, namun saat kaum buruh Indonesia sudah pada tahap kualitas yang mumpuni maka akan lahir spontanitas-spontanitas pergerakan yang sudah tentu berkualitas. Apakah kualitas kaum buruh Indonesia bisa dilihat secara kasat mata saat ini? Bisa.

Tahun 2015 adalah tahun kedua dimana hari buruh Internasional menjadi hari libur nasional. Khusus bagi kaum buruh Indonesia, Mayday harusnya menjadi aksi konsolidasi nasional dimana sejatinya dirayakan dengan cara memamerkan ‘senjata pusaka’ agar penguasa dan pengusaha serta seluruh rakyat bisa melihat seperti apa wujud asli ‘senjata’ tersebut yang pada tanggal 27 Januari 2012 pernah dipamerkan oleh buruh-buruh di kabupaten Bekasi dan pada 3 Oktober 2012 dipamerkan oleh buruh-buruh di 80 kota dan 22 Propinsi. Saat itu ‘senjata’ tersebut membuat para penguasa-pengusaha gemetar resah gelisah karena mampu melumpuhkan perekonomian sehingga mendatangkan kerugian luar biasa. Tapi hanya dengan begitulah para penguasa-pengusaha bisa menghormati kewibawaan kaum buruh karena memang sejarah Mayday itu sendiri meminta tumbal ratusan nyawa lebih dari 1 abad lalu untuk mewujudkan kerja 8 jam, upah layak, hak cuti, hak buruh perempuan, dan lain-lain yang menyangkut kesejahteraan kaum buruh.

Seharusnya dengan Mayday dijadikan libur maka kaum buruh Indonesia bisa lebih dahsyat memperlihatkan rupa seutuhnya dari ‘senjata pusaka’ kebanggaan kaum buruh. Biarlah perekonomian Indonesia lumpuh total 1 hari agar menjadi peringatan bagi penguasa-pengusaha betapa dahsyatnya ‘senjata pusaka’ tersebut. Namun di sinilah kualitas kaum buruh justru bisa terlihat dengan mata telanjang. Mayday libur malah dipakai lembur, Mayday libur malah dipakai berlibur, Mayday libur malah dipakai tidur, Mayday libur malah dipakai ………..ah sudahlah. Padahal saking takutnya para penguasa-pengusaha mendengar Mayday, mereka mau repot susah payah agar ‘senjata’ tersebut tidak dipamerkan oleh kaum buruh dengan berbagai cara, bahkan khusus di kabupaten Bekasi sebagai pusat industri terbesar di Asia Tenggara, aparat kepolisian dan militer sudah menongkrongi beberapa sekretariat (markas) buruh 1 hari sebelum Mayday.

Andai ‘senjata pusaka’ tersebut dipamerkan dengan kekuatan penuh maka konon akan membuat para buruh Indonesia beriman untuk melahirkan 1 entitas politik yang dipercaya akan mendominasi panggung kekuasaan. Maka dari itu, bagaimana caranya agar kaum buruh jangan sampai beriman demikian, dilakukanlah berbagai upaya yang intinya agar kaum buruh Indonesia tidak pernah melihat wujud utuh ‘senjata’ tersebut. Tentu siapa saja penggiat kaum buruh Indonesia yang hidup di zaman manapun tidak ada yang pernah melihat rupa utuh dari ‘senjata pusaka’ kaum buruh Indonesia yakni aksi massa total para buruh di seluruh Indonesia mulai dari buruh pabrik, buruh bangunan, buruh angkut, buruh cuci, buruh tani, buruh tambang, buruh tambak, hingga buruh perkebunan. Semua serentak turun ke jalan tidak hanya di 80 kota/kabupaten dan 22 propinsi saja, tapi di seluruh kota/kabupaten tanpa terkecuali. Sayang sekali, kaum buruh Indonesia hanya tinggal 1 langkah lagi untuk melihat ‘senjata pusaka’ ini. 1 langkah yang mungkin tidak akan pernah terwujud bahkan oleh spontanitas ala Roxa Luxemburg sekalipun. Penguasa-pengusaha sudah tahu kualitas buruh-buruh Indonesia akan lebih memilih istirahat di hari buruh.

Teringat sebuah kisah dari kitab Taurat milik penganut Yahudi tentang Musa, nabi terbesar kepunyaan bangsa Israel. Tuhan menjanjikan Musa dan bangsa Israel yang dipimpinnya sebuah ‘Tanah Pusaka’ untuk didiami. Suatu kali Musa melakukan kesalahan yang mendatangkan hukuman Tuhan. Ia tidak diperbolehkan memasuki ‘Tanah Pusaka’ namun hanya boleh melihatnya dari puncak sebuah gunung. Naiklah ia ke puncak gunung tersebut lalu dilihatlah seperti apa rupa ‘Tanah Pusaka’. Setelah melihat ‘Tanah Pusaka’ tersebut, sang nabi lalu meninggal tanpa pernah ada seorang pun dari bangsa Israel yang tahu letak kuburannya.

Para penggiat buruh yang mendaulat dirinya berkualitas (tak pernah berhenti belajar menambah wawasan) ibarat kisah Musa di atas, mereka telah ‘melihat’ seperti apa rupa ‘senjata pusaka’ kepunyaan kaum buruh Indonesia. Hanya ‘melihat’ saja, tapi tak pernah benar-benar melihat. Mereka yang telah ‘melihat’ terus akan berjuang mengedukasi para buruh sampai titik akhir penghabisan. Karena mereka punya keyakinan yang bisa dianggap sebagai finalitas iman bahwa nasib kaum buruh hanya bisa ditentukan oleh buruh itu sendiri tanpa perlu dititipkan pada para pejabat/politisi yang selalu mengaku-ngaku proburuh. Gerakan buruh harus melahirkan partai buruh yang akan memimpin negeri ini. Sebuah dongeng yang saat ini hanya akan tetap menjadi dongeng.

Penutup: Mari Bertaruh

Penurunan kuantitas massa sudah disinggung di atas. Seluruh organ buruh baik tingkat federasi maupun konfederasi tidak bisa dibantah mengalami penurunan tajam sejak aksi Mayday 2013. Sebelum itu, terutama periode akhir 2011-medio 2013 jika buruh mengancam akan menerjunkan puluhan ribu massa ya akan terwujud bahkan hingga jutaan massa. Namun sesudah itu, ancaman buruh mengalami penurunan bobot yang signifikan. Rabu tanggal 10 Desember 2014 kaum buruh Indonesia yang terpusat di Jabodetabek mengancam akan menerjunkan ratusan ribu buruh. Dalam kenyataannya hanya kisaran 15-20 ribu buruh. Namun demikian aparat gabungan TNI-POLRI mengerahkan kekuatan sangat besar dan terkesan berlebihan jika melihat jumlah aktual massa buruh. Penulis melihat beberapa tank baja diantara puluhan mobil-mobil tempur lainnya yang ada di dalam kawasan Monas. Ribuan tentara dan polisi berserakan dalam kawasan itu. Namun walaupun jumlah buruh yang terjun jauh dari yang digadang-gadang namun presiden Jokowi yang saat itu sedang di Korsel mengapresiasi dan akan melibatkan perwakilan buruh dalam penyusunan APBN.

Bagaimana dengan Mayday 2015? Di berbagai running text stasiun televisi tertulis jumlah buruh yang besok hadir mencapai lebih dari 150 ribu buruh. Seingat penulis, jumlah sedemikian besar terakhir terjadi pada Mayday 2013 yang merupakan puncak dari rangkaian pergerakan buruh yang dimulai sejak akhir 2011 hingga pra Mayday 2013. Dan aksi 10 Desember 2014 yang melibatkan 4 konfederasi (KSPSI-KSPI-KSBSI-KASBI) pun didahului pernyataan pengerahan massa sebesar ratusan ribu namun kenyataannya sangat jauh dari yang digadang-gadang.

Penulis seminggu ini berkeliling mengamati keadaan di kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara. Nyaris tidak terlihat atmosfer antusias Mayday seperti tahun-tahun sebelumnya. Pergerakan buruh di kabupaten Bekasi sangat penting mengingat di daerah inilah dongeng kebangkitan buruh Indonesia dimulai pada akhir 2011 lalu yang melahirkan peristiwa tutup tol Cikampek. Di berbagai media tertulis kabar bahwa Rieke ‘Oneng’ yang kadung dicap sebagai politisi pembela buruh oleh sebagian buruh meminta maaf karena sudah mengajak memilih Jokowi dan menghimbau kepada buruh untuk menduduki Istana Negara. Ah, drama apalagi yang anda mainkan, kak Rieke? Mending kak Rieke bertaruh saja dengan saya. Saya sangat yakin bahwa jumlah buruh yang akan ke Jakarta besok tidak akan mencapai 100 ribu. Mustahil mencapai angka segitu. Mencapai 50 ribu buruh saja sudah mukjizat kok. Wani piro taruhane?!

Sekedar catatan, Mayday tahun lalu massa buruh mencapai lebih dari 50 ribu tapi sebagian besar digiring ke GBK untuk mendukung salah 1 capres. Dan Mayday tahun ini berhembus kabar kencang akan didirikan 1 lagi partai buruh. Tapi prediksi saya massa buruh tidak akan mencapai 50 ribu. Namun terlepas dari itu saya mengucapkan selamat hari raya buruh internasional kepada seluruh buruh. Saya seperti biasa akan tetap merayakannya dengan berdemonstrasi turun ke jalan bersama kawan-kawan saya. Salam juang buruh! Hidup buruh!

image

Yang Lebih Penting Dari Perjuangan Upah Adalah Kemanusiaan

image

Korban kebrutalan oknum aparat

Dari jam 9 malam sampai setengah 4 pagi tadi menjenguk kawan Indofood yang dipukul aparat sampai kritis. Seorang anak sulung berusia 20 tahun, pekerja PKWT yang baru menjalaninya kontraknya selama 8 bulan. Ngobrol dengan keluarga korban. Ngumpul bersama kawan-kawan FKI (yang lanjut sampai pagi-sekarang menemani).

Saya yakin yang menjenguk, badannya pasti sangat letih apalagi yang berhari-hari terlibat aksi demo dan sweeping, termasuk saya. Tapi ada pesan penting yang harus kita sampaikan kepada keluarganya, yakni bahwa keputusan korban untuk bersolidaritas dan akhirnya mengalami kebrutalan aparat adalah tindakan yang menyentuh, sekaligus melukai hati kaum buruh ketika melihat keadaannya.

Bersyukur, berkat doa kita semua operasi yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam berjalan lancar dan sukses. Sekarang ‘tinggal’ memasuki masa perawatan dan pemulihan, fase paling berat yang akan dijalani korban kedepannya.

1 dekade lalu saya pernah bertarung dengan maut dan dirawat di RS selama 2 minggu karena suatu penyakit parah. Saat itu bila terlambat sejam saja ditangani ajal pasti menjemput. Tapi yang paling melelahkan bukanlah menghadapi kematian melainkan proses pemulihan yang sangat lama dan menimbulkan trauma hebat. Jadinya saya bisa merasakan penderitaan korban, walau saya belum pernah merasakan dilukai oleh aparat, jangan sampai deh. Hehe.

Saya berharap korban semalam adalah korban terakhir setelah 2 tahun ini (tahun lalu dari pihak FSPMI) pergerakan kabupaten Bekasi selalu memakan korban hingga kritis, baik dari kebrutalan ormas ataupun aparat. Mungkin itu juga yang menjadi harapan kita semua.

Tapi harapan terbesar saya untuk si korban adalah ketika nanti dia membuka mata dan sudah bisa diajak bercengkrama normal, dia bisa mendengar langsung ucapan keluarganya “nak, yang jenguk kamu banyak banget…Sejak dari kamu dibawa ke RS hingga sekarang, nggak terhitung lagi yang menjenguk kamu, nak…Bahkan sebagian mereka rela menjaga dan menemani kamu 24 jam, malam ke malam pagi ke pagi……Buzubusyetlah pokoknya, nak…WokWow, nak…!”

Kita selaku kaum buruh tentu bisa mewujudkan harapan di atas. Cukup dengan menjenguk korban dan menyampaikan rasa prihatin kepada keluarganya. Sampaikan juga rasa bangga kepada mereka. Agar keluarganya terhibur serta bangga kepada korban.

Dengan demikian korban nantinya bisa menjalani masa pemulihan dengan kepercayaan diri yang berapi-api. Yang paling penting adalah mampu menghadapi  dan menaklukkan perasaan trauma yang hebat. Karena apa yang dilakukannya diapresiasi oleh kita, kaum buruh. Sehingga di tahun-tahun mendatang kita bisa melihat korban kembali ke medan juang, bertempur kembali bersama kita untuk merebut upah layak!

Saya bukan anggota FKI-KSPSI bukan juga anggota FSPMI-KSPI. Korban adalah anggota SPSI dan saya menulis ini di grup FSPMI. Tapi sebagai sesama pejuang buruh, saya mau menghimbau kepada 2 organ raksasa buruh di kabupaten Bekasi (SPSI+FSPMI) untuk bersilaturahmi kepada korban dan keluarganya, jadikan ini sebagai momentum persatuan buruh kabupaten Bekasi. Demikian pun dengan organ-organ buruh lainnya, mari bersilaturahmi kepada korban dan keluarganya.

Tapi kalau tidak bisa menjadikan hal ini sebagai momentum persatuan buruh kabupaten Bekasi ya jangan harap kita dapat mengulang prestasi emas gemilang tahun 2012. 2012, sebuah momen yang menjadi titik tolak kebangkitan pergerakan buruh nasional, menginspirasi pergerakan buruh di daerah-daerah.

…UMK 2015 sudah diputuskan tengah malam tadi. UMK 2015 Kabupaten Bekasi di bawah Kabupaten Karawang dan Kota Bekasi, alias nomor 3 alias dapat medali perunggu. Kawasan industri terbesar di Asia Tenggara cuma dapat medali perunggu.

Masih untung dapat medali perunggu dalam kondisi terpecah belah. Terimalah medali perunggu ini sebagai cambuk perjuangan UMK tahun 2016. Jadikan lawatan kepada korban sebagai momentum persatuan buruh kabupaten Bekasi.

Kalau kalian sudah puas dapat medali perunggu sih ya hak kalian, saya sih nggak puas. Cukup tahun 2015 buruh kabupaten Bekasi dapat medali perunggu, 2016 harus medali emas! Setuju? Masa kabupaten Bekasi sebagai jawara industri cuma dapat medali perunggu?! Nanan Ah! Bukan apa-apa, sakitnya tuh di sini! MUSIK!

NB: Mau tahu nama korban? Ya jenguk lah ke RS Mitra Cikarang, dekat kawasan Jababeka. Salam kemanusiaan!

Haruskah Buruh Turun Ke Jalan?

Haruskah Buruh Turun Ke Jalan?

     Pertanyaan di atas mungkin jika saat ini adalah awal abad 19, sudah pasti jawabannya: YA! Kerja lebih dari 12 jam (beberapa sumber mengatakan 15-18 jam) per hari ditambah beberapa bentuk penindasan kerja lainnya tentu, saat itu, harus dilawan dengan aksi massa besar-besaran. Relasi penguasa dan pemodal saat itu banyak melahirkan praktek penindasan kepada para pekerja yang tidak akan bisa dikalahkan jika tidak turun ke jalan. Bahkan turun ke jalan saja tidak cukup, butuh ‘tumbal’ ratusan nyawa agar suara buruh bisa didengar dan dipenuhi tuntutannya. Lalu masih relevan kah tahun 2014 dan tahun-tahun mendatang, di Indonesia, jika buruh harus turun ke jalan dalam menyuarakan tuntutan?
     Sepanjang orde baru, praktis pergerakan buruh bisa dianggap mati. Adapun ‘bergerak’ hanya berwujud SPSI, sebuah wadah tunggal berserikat bagi para buruh yang dikendalikan oleh pemerintah. Mencitrakan adanya kebebasan berserikat (sesuai amanat UUD 1945 pasal 28) tapi sebenarnya agar gerakan buruh lebih mudah diawasi, atau istilahnya adalah ‘lokalisasi gerakan buruh’. Begitu ada pergerakan, sudah pasti akan cepat dijebloskan ke dalam penjara, seperti kasus demo buruh pertama di orde baru April 1994. Saat itu ‘Dewa Buruh’ Muchtar Pakpahan beserta puluhan aktivis SBSI lainnya dipenjara terkait aksi demo buruh di Medan. Atau contoh lainnya sebelum kasus Muchtar Pakpahan yakni aktivis buruh Marsinah, mengorganisir perlawanan di pabriknya yang malah berujung pada kematiannya yang hingga sekarang masih misterius.
     2 contoh di atas setidaknya menggambarkan betapa minimnya aksi massa buruh pada masa orba. Yang berusaha berjuang di luar wadah SPSI akan bernasib seperti Muchtar atau Marsinah. Tapi seperti ungkapan ‘tak ada yang sia-sia menebar benih’, apa yang dilakukan kedua tokoh tersebut, harus diakui, telah menginspirasi perjuangan buruh sampai kini. Pasca tumbangnya Soeharto pergerakan buruh tidak serta merta menggeliat, yang ada justru sebagian ikut tumbang. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia membuat ribuan pabrik tutup yang tentu mempengaruhi posisi tawar buruh. Saat itu sebagian besar buruh lebih memikirkan ‘yang penting masih bisa bekerja’ daripada harus terlibat dalam perjuangan buruh. Setelah perekonomian berangsur-angsur pulih, pergerakan buruh mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
     Contoh-contoh di atas yang terjadi di masa lalu dapat menjadi pijakan/gambaran bagi kita bagaimana menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Dan supaya makin kuat pijakan/gambarannya tentu harus dengan pendekatan terkini agar masyarakat yang awam perburuhan nantinya bisa memiliki beberapa sudut pandang tentang aksi demonstrasi buruh yang akan terjadi di masa-masa mendatang.
     Sejak munculnya media sosial seperti Friendster, FB, twitter, Path, dll, semua orang (yang melek internet) kini jadi lebih mudah menyalurkan ekspresi terhadap segala sesuatu/peristiwa tak terkecuali yang berhubungan dengan perburuhan, khususnya menyangkut aksi demonstrasi buruh yang selalu menuai pro dan kontra. Di kalangan buruh/penggiat buruh, media sosial dipakai sebagai alat propaganda melawan media-media mainstream yang condong menjadi corong pengusaha dan pemerintah, 2 elemen yang selalu diasosiasikan sebagai pihak yang mendzalimi buruh. Dengan kehadiran beberapa media sosial kini masyarakat awam bisa ‘mendekati’ buruh secara ‘langsung’, misalnya membaca postingan tweet atau status FB yang ditulis oleh buruh/penggiat buruh. Namun demikian, mereka yang berasal dari kalangan ‘non buruh’ biasanya tidak akan mengubah persepsi tentang buruh walaupun sudah disuguhkan beberapa sudut pandang dari media-media sosial. Bagi mereka, aksi demonstrasi buruh akan selalu dipandang sebagai sesuatu hal yang sangat negatif. Pun demikian dengan kalangan buruh yang sering menganggap kalangan ‘non buruh’ sebagai bayangan dari pengusaha dan pemerintah, 2 elemen yang tidak pernah berpihak pada mereka. Jadi sebenarnya posisi persepsi dari ‘zaman pramedia sosial’ dan ‘zaman media sosial’ antara kalangan buruh dan ‘non buruh’ relatif tidak berubah. Media sosial dalam konteks ini, tak lebih dari sekedar memperlihatkan apa yang dulu ‘tak bisa dilihat’ di ‘zaman pramedia sosial’.
     Di kalangan buruh itu sendiri sejak dulu sampai sekarang menganggap bahwa mereka adalah ‘yatim piatu sejak lahir’, tidak percaya siapapun selain dirinya sendiri, akibat terlalu seringnya dibohongi dan dikecewakan oleh negara. Kadang dalam beberapa sisi kaum buruh bisa dianggap keras kepala karena terlalu fanatik dengan keyakinannya yaitu bahwa hanya dengan aksi demonstrasi lah tuntutan mereka dapat dipenuhi, bukan lewat perundingan satu meja dengan pengusaha dan pemerintah. Apakah benar demikian? Benarkah kepala batu kaum buruh dapat dibenarkan atas dasar ‘iman’ mereka yang mengagung-agungkan keberhasilan aksi demonstrasi?
     16 tahun berjalan sejak lengsernya Soeharto, tercatat setidaknya ada 5 jenis demonstrasi besar-besaran buruh yang bersifat ‘non substantif’ (di luar isu upah) yaitu 1. Penolakan Revisi UU 13 2003, 2. Jaminan Sosial, 3. Tolak Kenaikan BBM, 4. Tolak Outsourcing, 5. Tolak Union Busting. Dari kelima isu tersebut yang ‘murni’ bergesekan dengan kaum buruh adalah yang selain tolak kenaikan BBM, karena itu dilakukan bersama dengan elemen masyarakat lainnya, dan hasilnya selalu gagal. Aksi demonstrasi menyangkut kenaikan BBM ujung-ujungnya hanya menjadi ‘aksesoris’ semata alias menyalurkan ‘hobi’ kaum buruh. Di sisa 4 isu lainnya, yang sudah mendulang keberhasilan adalah nomor 1 dan 2, sementara no 4 dan 5 masih perang hingga kini. Karena 5 isu ini tergolong ‘non substantif’ maka sulit untuk memakai ini sebagai acuan untuk menjawab judul tulisan ini. Nomor 1-2-4-5 adalah jenis ‘isu permanen’ yang inti materinya tidak pernah berubah sejak pertama kali digulirkan dan terutama karena keempat isu tersebut tidak langsung bersentuhan dengan ‘uang tunai. Sangat berbeda dengan isu upah yang inti materinya begitu dinamis disamping memang karena langsung menyangkut ‘uang tunai’. Maka dari itu setelah menyaring berbagai kriteria, mau tidak mau secara terpaksa harus memakai contoh-contoh demonstrasi upah. Karena faktanya, perjuangan kaum buruh sampai dengan detik ini masih didominasi oleh isu upah.
     Pergerakan kaum buruh (terorganisir) baik di saat berkuasa dan pasca lengsernya Soeharto sejatinya tidak terlalu kelihatan gregetnya. Kebangkitan kaum buruh sebenarnya baru saja dimulai di akhir 2011, periode penetapan UMR untuk tahun 2012. Periode itu sebenarnya tidak berbeda dengan periode pada tahun-tahun sebelumnya, dimana 2 bulan terakhir tiap-tiap tahunnya (November-Desember) adalah periode penetapan upah yang disertai musim demonstrasi buruh. Yang menjadi pembeda saat itu adalah adanya upaya gugatan Apindo Jabar ke PTUN Bandung yang direspon oleh buruh Bekasi dengan aksi menutup tol Cikampek. Dalam sejarah berdirinya republik Indonesia, belum pernah sekalipun terjadi aksi demonstrasi buruh seperti itu. Peristiwa epic yang terjadi di awal tahun 2012 tersebut menjadi efek domino hingga ke seluruh pelosok tanah air, beberapa diantaranya yakni demonstrasi buruh di Batam dan Papua. Sejak peristiwa itu, pertumbuhan serikat buruh di seluruh Indonesia bak jamur di musim hujan. Bahkan perusahaan riset kelas dunia cabang Indonesia, para pekerjanya yang notabene ‘kerah putih’ sampai membentuk serikat pekerja di tahun 2012. Itulah sebabnya momentum perburuhan pada akhir tahun 2011 sangat sulit disangkal sebagai titik kebangkitan buruh Indonesia. Efek domino akhir 2011 tak luput dirasakan oleh Kementerian Tenaga Kerja yang mana sampai harus meluncurkan program dengan tajuk ‘pembinaan serikat buruh/pekerja’ sebanyak 2 angkatan pada tahun 2013, sebuah program yang tidak pernah ada sebelumnya. Disinyalir program tersebut adalah kedok untuk menahan laju euforia buruh untuk tidak turun ke jalan, yang memang pada saat itu telah menjadi semacam animo di kalangan buruh. Dugaan tersebut mungkin ada benarnya, mengingat di sepanjang tahun 2014 program tersebut tidak lagi dilakukan oleh Kemenakertrans. Dengan demikian diperoleh suatu durasi periode kebangkitan kaum buruh Indonesia yang ‘masih muda’ yakni sejak akhir 2011 hingga 2014, durasi inilah yang akan dibedah sebagai kriteria menjawab judul tulisan ini.
     Antara akhir tahun 2011-2014, setidaknya ada 9 macam isu yang diperjuangkan atau melibatkan elemen buruh yaitu aksi upah 2012-2014, aksi mengecam penganiayaan buruh, aksi libur nasional 1 Mei, aksi tolak Outsourcing, aksi GEBER BUMN, aksi tolak kenaikan BBM, aksi solidaritas perbudakan buruh pabrik kuali di Tangerang, aksi BPJS, dan yang terakhir aksi mendukung capres pada pemilu kemarin. Mengupas kesembilan isu tersebut secara rinci bisa menjadi 1 buku dan terlalu berlebihan jika dilakukan di sini. Di sini hanya akan mengambil isu upah (kronologis singkat) 2011-2014 sebagai pendekatan utama. Namun secara singkat bisa dikatakan dari 8 lainnya, hanya isu tolak kenaikan BBM lah yang tidak berhasil ‘ditaklukkan’ dengan aksi massa (yang melibatkan) buruh. Sementara yang masih berjalan adalah aksi GEBER BUMN dan Tolak Outsourcing, 2 isu ini dalam ‘status perang hingga kini. Dan untuk isu Outsourcing akan dibahas secara tersendiri di lain kesempatan.
     Kini semakin dekat, ‘hanya’ dengan referensi aksi UMK 2011-2014 maka bisa melihat secara ‘objektif’ apakah kaum buruh memang harus turun ke jalan? Untuk itu mari tengok kronologis singkat momentum kebangkitan kaum buruh Indonesia pada November-Desember 2011. Saat itu, di kabupaten Bekasi sebagai pusat industri terbesar di Indonesia sekaligus Asia Tenggara ditetapkan UMK dengan kenaikan  sekitar 200 ribu. Pengusaha yang diwakili Apindo tidak terima dan lantas menggugat ke PTUN Bandung. Perwakilan buruh berargumen bahwa UMP/UMK 4 tahun ke belakang selalu di bawah besaran nilai KHL. Sedangkan di pihak pengusaha mengklaim kenaikan tersebut cacat administrasi. Setelah beberapa pertemuan tripartit yang gagal sampai tutup tahun 2011, Apindo meneruskan gugatannya di awal tahun 2012 dan dikabulkan oleh hakim. Merasa haknya telah dirampas seluruh federasi-konfederasi buruh yang ada di kabupaten Bekasi serempak turun ke luar pabrik dengan tujuan menutup tol Cikampek dan berhasil. Aksi blokir tol ini menyebabkan kemacetan hingga ratusan kilometer di Jabodetabek. Presiden SBY cepat bertindak cepat mengutus 2 menteri menemui langsung buruh. Itulah pertama kali peristiwa pemblokiran tol paling spektakuler hingga membuat 2 menteri harus turun langsung ke jalan di tengah-tengah demonstrasi. Akhirnya pemerintah menjamin bahwa gugatan Apindo dibatalkan sepihak dan menuruti permintaan buruh. Untuk pertama kali pula dalam sejarah, putusan UMK oleh pengadilan dibatalkan oleh aksi demonstrasi. Masih di tahun yang sama, bulan Oktober, aksi mogok nasional pertama dilakukan. Buruh menuntut penghapusan Outsourcing dan kenaikan upah seperti tahun lalu serta BPJS harus segera dijalankan. Mogok nasional ini bukan hanya sekedar mogok, di puluhan kawasan industri mogok dilakukan dengan cara turun ke jalan men-sweeping pabrik-pabrik dan sukses! Barikade aparat yang diterjunkan sejak subuh-subuh buta tak kuasa menahan aksi sweeping tersebut. Aksi ini di kalangan buruh dikenal dan dikenang dengan sebutan Monas (Mogok Nasional), membuat para pengusaha bereaksi emosional di media. Mereka menyayangkan sikap pemerintah dan aparat yang tidak bisa mengatasi keadaan. Pasca Monas disertai sweeping menuai hasil yang tak kalah sukses, antara lain ‘bangkrutnya’ yayasan-yayasan outsourcing penyalur tenaga kerja akibat pemerintah mengeluarkan Permen 19 tahun 2012 yang mempersulit izin usaha outsourcing. Selain itu pengangkatan karyawan outsourcing-kontrak menjadi karyawan tetap terjadi merata di pabrik-pabrik, yang sudah dimulai sejak aksi tutup tol sebelumnya. Khusus BPJS, pemerintah menyatakan tegas realisasinya akan tepat waktu. Bisa dibilang tahun 2012 dalam konteks perburuhan begitu epic dimana 1 tahun terjadi 2 peristiwa aksi massa buruh skala regional dan nasional yang menuai kesuksesan luar biasa, kesuksesan yang tak pernah bisa diraih sebelumnya. Sementara itu pasca Monas, di Jakarta, Ahok wagub DKI Jakarta menemui perwakilan buruh dan secara langsung mengadakan rapat pengupahan secara terbuka diliput media. Apa yang dilakukan Ahok saat itu adalah nyeleneh. Dengan buka-bukaan seperti itu, terungkap fakta ‘mengejutkan’ bahwa ada manipulasi penentuan KHL selama 5 tahun ke belakang. Dan ‘kegilaan’ Ahok akhirnya ‘memutuskan’ UMK DKI tahun 2013 naik 700 ribu atau sebesar 45%! Ini rekor kenaikan UMK tertinggi dalam sejarah Indonesia. Dalam salah 1 televisi nasional, Ahok sampai perang kata-kata dengan ketua Apindo perihal kenaikan fantastis UMK DKI. Ahok menyatakan kenaikan tersebut sebagai kompensasi manipulasi KHL 5 tahun ke belakang. 1 hal yang menjadi sorotan dalam ‘kegilaan’ Ahok itu adalah kenyataan bahwa rapat dewan pengupahan di DKI dari tahun 2007-2012 bisa disimpulkan penuh dengan manipulasi, rahasia umum yang sudah beredar sejak dulu di kalangan kaum buruh. Bagaimana bisa selama 5 tahun tim perumus upah (Dewan Pengupahan) bisa ‘salah’ menghitung KHL?! Sejak fakta tersebut terungkap, kepercayaan kaum buruh kepada pemerintah dan pengusaha serta perwakilan buruh yang tergabung di dalam dewan pengupahan bisa dikatakan ada di titik paling bawah. Itulah kenapa setelah kejadian tersebut, mulai 2013, buruh-buruh yang demonstrasi UMK selalu minta pertemuan langsung, tidak mau memakai mekanisme rapat dewan pengupahan. Sebagian kalangan menganggap kaum buruh sudah kebablasan karena tidak mempercayai sistem pengupahan yang telah diatur, mungkin ada benarnya dilihat dari 1 sisi.
     Setidaknya ada kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian singkat di atas yaitu bahwa apa yang dilakukan oleh kaum buruh (Jabodetabek) pada tahun 2011-2013 menyuguhkan sedikitnya 5 ‘panorama perburuhan’, antara lain: 1) Keyakinan kaum buruh bahwa terjadi manipulasi terhadap hak-hak mereka yang selama ini menjadi rahasia umum terbukti benar. 2) Fakta bahwa pihak pemerintah yang selama ini dianggap buruh selalu terlibat dalam perampasan hak-haknya ternyata sedikit terbentur dengan 3 sosok kunci yakni Ahmad Heryawan, Jokowi, dan Ahok. Ketiga sosok pejabat ini ‘mau’ menuruti kemauan buruh (terlepas dari terlalu kuatnya argumentasi buruh pada saat itu). Begitu langka pejabat setingkat kepala daerah yang mau memperjuangkan kepentingan buruh. 3) Aksi demonstrasi turun ke jalan hingga menutup fasilitas umum sangat ampuh melawan putusan pengadilan yang merugikan kaum buruh. 4) Andai tidak ada poin nomor 3, maka upah buruh di kawasan-kawasan industri masih akan sangat rendah sampai saat ini. Sekedar catatan, terjadi kenaikan hingga >100% dalam 3 tahun sejak 2011, yang tidak mungkin terjadi pada interval-interval sebelumnya. 5) Poin nomor 1-4 hanya makin memperkokoh sebuah paradigma yang sudah sejak dulu melekat di kaum buruh yaitu bahwasanya kemenangan kaum buruh hanya bisa diperoleh dengan cara membanjiri jalanan dengan aksi massa buruh. Dalam momentum langka seperti peristiwa 2012 lalu pun pada akhirnya menjadi panggung pembuktian betapa sahihnya paradigma kaum buruh.
     Solusi terkait 5 ‘panorama perburuhan’ tersebut sebenarnya bukanlah pekerjaan rumah kaum buruh tetapi mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah sedari dulu harusnya bisa menyiapkan pegawai-pegawai ketenagakerjaan yang mumpuni dan bukannya menjadi pihak yang malah memanfaatkan buruh bahkan seringkali jadi ikut menindas buruh. Tapi apa daya justru pemerintah dan wakil rakyat malah meluncurkan UU no 2 tahun 2004, dimana buruh yang tidak punya apa-apa dibiarkan bertarung dengan pengusaha yang memiliki segalanya atas nama keadilan di atas arena bernama PPHI, Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial. Sekali lagi negara lepas tangan daripada menjadi juri. Secara keseluruhan yang menyangkut aspek-aspek perburuhan, kaum buruh adalah pihak yang selalu dikorbankan atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Persoalan hak kaum buruh akan selalu ditaruh di nomor paling belakang jika perlu, asalkan kepentingan pengusaha tidak terganggu. Maka kemudian pilihan tersisa yang dimiliki kaum buruh Indonesia hanyalah demonstrasi ke jalan bahkan menutup fasilitas umum jika dirasa perlu, untuk sekedar mendapatkan perhatian dari negara.
     Bagaimana dengan di luar ‘aspek perburuhan’? Kaum buruh dikenal egois karena hanya memikirkan kepentingannya, dilihat dari satu sisi mungkin benar. Mayoritas pergerakan kaum buruh Indonesia terfokus pada isu-isu perburuhan. Tapi bukan berarti tidak ada dari kaum buruh yang berjuang menyuarakan ‘kepentingan non buruh’. Organ buruh seperti GSBI misalnya, konsisten terlibat dalam isu-isu politik dan pertanian hingga demonstrasi ke jalan, walau belum mendapat dukungan merata dari organ-organ buruh lainnya. Tapi setidaknya kaum buruh sudah membuka diri (tidak egois) kepada isu-isu rakyat lainnya. Mengingat begitu luar biasa konsistennya aksi massa buruh yang tidak bisa disaingi komunitas massa lainnya, maka gerakan buruh di masa depan begitu potensial menjadi alternatif atau pemicu untuk membiasakan masyarakat terjun ke jalan berdemonstrasi sebagai benteng terakhir rakyat bilamana negara jatuh dalam kesewenang-wenangan penguasa. Tak berlebihan membayangkan beberapa waktu ke depan, massa buruh menginisiasi perlawanan rakyat, turun ke jalan membanjiri jalan-jalan lalu meneriakkan ‘BENTUK UNDANG-UNDANG PEMISKINAN KORUPTOR’. Jalan menuju ke sana sudah diretas oleh organ buruh semisal GSBI, dengan demikian maka kita sudah memperoleh jawaban dari judul tulisan ini ‘Haruskah Buruh Turun Ke Jalan?’

image

Massa buruh membanjiri jalan

Menakar Menaker Pada Kabinet Jokowi Dan Nasib Pergerakan Buruh

Tags

     Setelah pelantikan Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia ke 7, makin ramai pembahasan mengenai posisi menteri pada kabinet Jokowi. Menjadi menarik karena presiden terpilih Jokowi dalam beberapa
kesempatan di media secara lugas ‘berkaul’ bahwa kerjasama dengan parpol-parpol yang mendukung pemerintahannya adalah kerjasama tanpa syarat. Pernyataan Jokowi tersebut tentu ‘halal’ jika ditafsirkan bahwa kabinet yang akan dipimpinnya akan ‘terbebas’ dari pelbagai kepentingan politik dan atas dasar asumsi itu maka besar harapan kita semua bahwa kabinet 2014-2019 akan diisi oleh para profesional atau kalaupun kader parpol, tentu mereka yang memang benar-benar punya kapasitas mumpuni.
     Lalu ketika Jokowi telah resmi mengumumkan kabinetnya, menteri manakah yang akan langsung bekerja ‘berjibaku’ dengan keras sejak pelantikan? Tidak lain dan tidak bukan adalah Menteri Tenaga Kerja, mengapa demikian? Karena 3 bulan terakhir di tiap tahun bisa dikatakan sebagai ‘musim buruh’, dimana aksi demonstrasi besar-besaran selalu menghiasi periode tersebut. Triwulan terakhir di tiap tahun di Indonesia, apalagi sejak 2011, menjadi sebuah rutinitas sekaligus ajang ‘pameran’ dari berbagai organisasi buruh mulai dari tingkat PUK (pabrik) hingga tingkat konfederasi untuk menunjukkan besarnya massa yang mereka miliki. Walaupun motif tiap organ buruh berbeda-beda tapi aksi massa yang mereka tampilkan sudah pasti terdapat muatan yang berisi isu-isu perburuhan. Karena tanpa ada kandungan kepentingan buruh di sana, maka sangat sulit menghadirkan aksi massa skala puluhan ribu hingga ratusan ribu buruh bahkan di tahun 2012 dan 2013 skala aksi massa mencapai jutaan buruh melalui aksi mogok nasional.
     Lalu bagaimana dengan tahun 2014? Menjawab pertanyaan ini tentu harus memakai ‘referensi’ 2011-2013. Kenapa harus memakai interval tersebut? Karena dalam konteks pergerakan buruh, tahun 2014 merupakan satu rangkaian tak terpisahkan dengan pergerakan 2011-2013. Sekedar info, bahwa (akhir) tahun 2011 bisa dianggap sebagai awal kebangkitan pergerakan buruh di Indonesia yang melahirkan aksi-aksi massa fenomenal seperti menutup tol Cikampek (Jumat 27 Januari 2012) dan Mogok Nasional (Rabu 3 Oktober 2012) yang berimbas pada pesatnya pertumbuhan jumlah serikat buruh/pekerja di tanah air, bagai jamur di musim hujan. Para buruh berlomba-lomba membentuk serikat buruh/pekerja. Bahkan salah 1 perusahaan riset terkemuka di dunia (cabang Indonesia) pun ‘terpaksa’ membentuk serikat pekerja akibat euforia tersebut, perjuangan buruh ‘kerah biru’ menginspirasi buruh ‘kerah putih’. Apa
yang terjadi dari akhir 2011 hingga akhir 2012 adalah sesuatu yang sangat langka, mungkin akan sangat sulit terulang kembali.
     Memasuki 2013, para pengusaha tentu sudah mempelajari bagaimana pola perjuangan buruh di tahun sebelumnya dan berupaya menghindari
‘konfrontasi langsung’. Mereka kembali memakai pendekatan klasik kolonial yakni menggabungkan metode adu domba antar pengurus buruh dan memakai premanisme yang didukung aparat serta kolusi dengan para pejabat ketenagakerjaan yang pada akhirnya bermuara pada PHK besar-besaran
kepada para buruh yang berserikat. Keberhasilan menggunakkan pendekatan ini bisa dilihat pada aksi
Mogok Nasional (MONAS) jilid 2 yakni dari tanggal 28 Oktober-31 Oktober 2013 yang bisa dianggap gagal. Alih-alih mengulang mogok nasional 2012,
realitanya adalah mogok yang hanya dilakukan oleh salah 1 konfederasi dengan skala massa kurang dari 1 juta. Mogok nasional edisi 2 ini tidak dapat restu dari seluruh organisasi buruh. Organisasi buruh yang tidak terlibat MONAS jilid 2 disinyalir merasa kecewa oleh seorang petinggi buruh yang merasa menjadi pahlawan tunggal dalam fenomena aksi buruh 2012. Sekedar info, petinggi buruh yang dimaksud mendapatkan penghargaan sebagai aktivis buruh terbaik dunia tahun 2013, acara pemberian penghargaan dilangsungkan di Belanda. Dalam kurun waktu tersebut (28-31 Oktober) pula, pergerakan buruh mendapat ‘bonus’ yaitu jatuhnya korban di pihak buruh. Di Kabupaten Bekasi, sentra pergerakan buruh Indonesia, beberapa buruh mengalami penganiayaan oleh ormas bayaran hingga ada yang dalam keadaan kritis/koma. Walaupun bisa dikatakan bahwa para pengusaha tidak menang mutlak, tapi kejadian di akhir 2013 benar-benar meruntuhkan moril para (aktivis)
buruh. Peristiwa akhir 2013 menjadi titik balik pencapaian fenomenal buruh yang susah payah diraih pada tahun 2012. Memasuki tahun 2014, penurunan aksi massa buruh drastis terjadi sampai dengan sekarang (kecuali peringatan hari buruh), bahkan kemarin tanggal 2 Oktober 2014, demonstrasi FSPMI-KSPI hanya melibatkan 5000-an buruh. Sebelumnya tanggal 15 September,
demonstrasi massa buruh KASBI pun hanya sekitar 3000-an buruh. Padahal kedua konfederasi tersebut menggadang-gadang akan menerjunkan massa di atas 10 ribu buruh, kenyataannya hanya ribuan.
     Kembali ke pertanyaan di atas ‘lalu bagaimana dengan tahun 2014?’ Jawabannya adalah bahwa aksi massa buruh tentu masih ada, pasti akan selalu ada. Tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya ‘apakah masih akan sebesar 2012 dan 2013?’
Kemunduran pergerakan buruh tahun 2014 memang fakta yang terjadi tapi buruh tetaplah buruh, mereka tetaplah raja dalam aksi massa. Tidak ada satupun kelompok/komunitas pasca 1998 yang bisa menandingi keperkasaan buruh dalam hal aksi
massa. Dalam kemunduran signifikan di tahun 2014, jika ditotal, setidaknya masih ada lebih dari 10 demonstrasi yang minimal melibatkan 2000 buruh
sepanjang tahun 2014. Kelompok massa mana yang bisa menyaingi ini? Tidak ada, bahkan oleh mahasiswa sekalipun.
     Dengan sedikit uraian di atas jelas terlihat bahwa ‘ancaman’ demonstrasi oleh buruh secara besar-besaran sangat potensial dihadapi oleh menaker yang baru. Apalagi 10 hari setelah pelantikan, menakertrans sudah harus menetapkan UMR tahun 2015, ditambah dengan ‘kehadiran’ RPP Pengupahan dimana isinya kenaikan upah per 2 tahun sekali yang tentunya akan ditolak buruh, maka
sudah pasti tekanan hebat akan dialami oleh menaker yang baru. Dan entah memang kebetulan atau tidak, penetapan UMR 2015 bertepatan dengan keinginan Jokowi yang ingin
menaikkan harga BBM sebesar 3000 rupiah yakni pada tanggal 1 November, BOMB! Ini ibarat menyiram bensin ke dalam kobaran api.
     Lalu kira-kira siapakah yang akan ‘ditumbalkan’ untuk mengisi jabatan menaker untuk menghadapi ‘skenario BOMB’ tersebut? Mari lihat
track record posisi Menaker (khusus tenaga kerja, baru di zaman Megawati menjadi menakertrans) mulai dari era reformasi (kabinet GusDur). Bomer Pasaribu (politisi Golkar) 1999-2001, Jacob Nuwa Wea 2001-2004 (politisi PDIP), Fahmi Idris 2004-2005 (Politisi Golkar), Erman Soeparno 2005-2009 (Politisi PKB, bendahara umum), Muhaimin Iskandar 2009-2014 (Politisi PKB, ketua umum). Kalau dihitung Mentrans 1999-2001 yakni Al Hilal Hamdi (Sekjen PAN) maka ada 6 menteri dari tahun 1999-2014 dan seluruhnya adalah politisi. Jadi jabatan menaker sangat gamblang adalah jabatan politis, maka Jokowi pun sudah pasti akan menaruh politisi pada posisi menaker.
     Ada beberapa nama tokoh dan politisi yang diisukan akan menempati posisi menaker yaitu Said Iqbal, Rieke Dyah Pitaloka (PDIP), Andi Gani Nena Wea, Jumhur Hidayat (PDR lalu PSI, terakhir Demokrat), Khofifah Indar Parawansa (Pernah di PPP, kini PKB). Manakah yang paling berpeluang ditunjuk oleh Jokowi?
     Yang paling ideal adalah Said Iqbal, dialah satu-satunya dari 5 nama di atas yang berasal dari buruh. Karier aktivis buruhnya bisa dibilang mentereng, diawali menjadi ketua serikat buruh pabrik elektronik terkemuka hingga menjadi ketua umum federasi (FSPMI) berlanjut ketua umum konfederasi (KSPI) hingga menjabat sebagai presiden di MPBI (Aliansi 3 konfederasi raksasa di Indonesia dengan total anggota >6 juta). Di bidang akademis dia mendapat gelar S2, benar-benar kombinasi yang sangat ideal: aktivis buruh dengan
pendidikan yang tinggi. Namun pilihan politik yang dia ambil yaitu mendukung Prabowo serta terlalu vokal mengkritik Jokowi yang pada akhirnya memupuskan harapan.
     Rieke Dyah Pitaloka, sepak terjangnya di dunia perburuhan dalam 5 tahun ini mendapat tempat di hati para aktivis buruh, kerap terjun ke lapangan
mengadvokasi buruh. 1 kejadian berkesan adalah saat dia rela datang jam 2 pagi ke Kabupaten Bekasi untuk membebaskan beberapa aktivis buruh
yang ditahan aparat akibat demonstrasi di depan Pertamina Cikarang. Dia juga mungkin satu-satunya anggota DPR yang pernah terjun langsung menghadapi pengusaha terkait kasus PHK, kejadian
tersebut sekitar medio 2014 di daerah kawasan Industri Delta Silicon Cikarang. Puncaknya adalah perolehan suara yang dia dapat di Dapil VII (Disebut sebagai dapil buruh, meliputi: Kabupaten Bekasi-Karawang-Purwakarta) menghantarkannya sebagai anggota DPR peraih suara terbanyak no 4 di Indonesia periode 2014-2019. Hanya saja peluang untuk menjabat sebagai menaker bisa dibilang sangat tipis cenderung mustahil mengingat Apindo yang mendukung Jokowi. Citra ‘Oneng’ sebagai pembela buruh yang blak-blakan sudah tentu menimbulkan resistensi tinggi bagi Apindo. ‘Jurus
pamungkas’ Apindo dan Kadin yang akan disampaikan ke Jokowi untuk menolak ‘Oneng’ adalah iklim investasi yang tidak kondusif jika menaker dijabat olehnya.
     Andi Gani Nena Wea putra dari menakertrans era Megawati yaitu Jacob Nuwa Wea adalah ketua umum KSPSI, konfederasi tertua dan terbesar di Indonesia. Usianya yang relatif muda masih kepala 3 yang membuatnya terlihat ‘aneh’ untuk ukuran SPSI. Di kalangan aktivis buruh, nama SPSI sudah semacam jadi stigma: ‘jongos Apindo, penitip nasib (enggan demo)’. Namun di tangannya SPSI berubah menjadi bergaya ‘kiri’, suka demonstrasi turun ke jalan bersama organisasi buruh lainnya. Aksi
spektakuler Mogok Nasional 2012 tak akan terjadi tanpa andil dan inisiasi Andi Gani, dia sangat berperan besar dalam peristiwa tersebut. Kontras
dengan ketua umum KSPSI satunya lagi yaitu Yorris Raweyay yang terlihat ‘anti’ demonstrasi, lebih suka mengerahkan massa buruh ke gedung tertutup. Sekedar tambahan informasi, sampai saat ini KSPSI masih terpecah 2: kubu Andi Gani dan kubu Yorris
(rekonsiliasi kubu Syukur Sarto). Jelas Apindo lebih memilih tipe-tipe seperti Yorris ketimbang Andi Gani, lebih mudah diajak kompromi (baca: diajak
sekongkol). Tapi masalahnya Yorris adalah politisi Golkar yang mana partainya berseberangan dengan
Jokowi, sehingga peluang Andi Gani menjadi menaker besar kemungkinan terganjal, lagi-lagi oleh faktor Apindo. Ini bisa dilihat bagaimana kehadiran Apindo dalam rekonsiliasi KSPSI Yorris dan Syukur Sarto tahun 2012. Secara implisit, Apindo lebih mengakui KSPSI kubu Yorris walau pengadilan telah memutuskan KSPSI kubu Andi Gani
lah yang sah.
     Jumhur Hidayat di masa orba adalah tahanan politik, dibebaskan tahun 1992. Saat itu sebagai mahasiswa ITB mendemo rezim Soeharto. Pernah berada dalam beberapa organisasi hingga menjadi
ketua umum salah 1 federasi buruh bernama GASPERMINDO, menjabat sampai tahun 2012. Tahun 2006 dia menginisiasi Aliansi Buruh Menggugat (ABM) mendemo presiden SBY bersama-sama organisasi buruh lainnya. Sangat vokal terhadap isu perburuhan saat itu, titik baliknya
setahun kemudian saat ditunjuk jadi kepala BNP2TKI hingga Maret 2014, dalam kurun waktu dia menjabat, organisasi buruh yang didirikannya tidak pernah lagi terdengar dalam kancah pergerakan buruh di Indonesia. Bahkan bisa dianggap ‘absen’ saat euforia pergerakan besar buruh tahun
2011-2012 lalu. Ada sinisme di kalangan aktivis buruh (idealis) bahwa masuknya Jumhur ke dalam pemerintahan adalah pengkhianatan yang mirip dilakukan oleh Dita Indah Sari. Mereka berdua hanya menambah catatan hitam gerakan buruh yang mana aktivis buruh hanya jadi pijakan untuk menaikkan nilai tawar untuk menempati posisi dalam pemerintahan. Bisa disebut ‘kutu loncat’ (oportunis) sosok Jumhur Hidayat ini, gagal
pencalonan konvensi Demokrat lalu memutuskan mendukung Jokowi yang disinyalir menjadi alasan SBY memberhentikannya sebagai kepala BNP2TKI. Apindo tentu menyukai orang-orang sepertinya yaitu aktivis buruh yang menyeberang masuk pemerintahan, tapi Apindo yang pintar tentu tidak akan mau kehilangan sekutu sebesar KSPSI. Memilih Jumhur sebagai menaker tentu akan dikritik habis-habisan oleh KSPSI dengan alasan bahwa Jumhur sama sekali tidak teruji menangani organisasi buruh dengan jutaan anggota apalagi organisasi buruh yang dipimpinnya sudah tak terdengar lagi gaung dan kiprahnya.
     Mengingat 4 nama di atas memiliki resistensi bagi ‘para pemangku kepentingan buruh’ tentu Jokowi harus punya calon alternatif lain. Bagi Jokowi yang penting adalah bahwa berpengalaman dan berkompeten serta punya rekam jejak baik adalah kriteria yang mutlak harus dipenuhi menteri-menteri yang akan ditunjuknya termasuk posisi menaker. Soal ‘kadar resistensi’ menjadi pertimbangan nomor 2. Tapi jika melihat memakai kapasitas 2 menteri sebelumnya adalah mereka yang sama sekali tidak ada sangkutpautnya sama sekali dengan buruh. 2005-2009, Erman Soeparno bendahara Umum PKB mengisi posisi tersebut. 2009-2014, Muhaimin Iskandar ketua umum PKB mengisi posisi tersebut. 9 tahun terakhir jabatan menaker diisi oleh politisi PKB dan sangat besar kemungkinan kembali
akan dijabat oleh politisi PKB apalagi PKB sendiri ada dalam koalisi pemerintahan Jokowi. Dan mengingat Jokowi adalah pemimpin yang kreatif dan inovatif, bukan tidak mungkin jika beliau sudah mempunyai terobosan bahwa tokoh perempuan akan ditempatkan sebagai menaker. Lalu siapakah kriteria yang memenuhi demikian: 1. Perempuan 2. Politisi PKB 3. Berpengalaman-Berkompeten-Rekam Jejak Baik 4. Resistensi rendah di mata buruh dan pengusaha 5. Tidak ada sangkutpautnya dengan buruh? Dari 5 kriteria tersebut hanya akan menghadirkan 1 nama: Khofifah Indar Parawansa. Perempuan ini jadi anggota DPR sejak era orba hingga era SBY, menteri pemberdayaan perempuan era Gus Dur, pemimpin organisasi perempuan terbesar (Muslimat NU) di Indonesia, dan lain-lain. Ditambah saat kasus Akil Mochtar tempo hari, Khofifah lah yang sebenarnya menang pilgub Jatim di MK. Jadi dengan prestasi-prestasi di atas, tidak berlebihan jika Khofifah berada di nomor urut 1 pada daftar calon menaker. Organisasi buruh terbesar pendukung Jokowi, KSPSI, sepertinya tidak punya resistensi karena Khofifah bisa dianggap sebagai ‘penetralisir’ aspirasi KSPSI yang sangat ingin jabatan menaker diisi oleh tokoh buruh. Tapi berhubung di tubuh KSPSI sendiri terdapat dualisme kepemimpinan, maka mereka pun akan sulit mengajukan calon alih-alih menyelesaikan konflik internal dualisme kepemimpinan. Sebenarnya di luar 5 nama di atas masih ada nama seperti Muchtar Pakpahan, tokoh buruh terkemuka sekaligus doktor hukum. Tapi informasi dari beberapa aktivis buruh yang dekat dengannya, beliau ‘mengincar’ posisi di Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden), tidak begitu tertarik dengan jabatan menaker.
     Lalu bagaimana nasib perjuangan buruh serta pergerakannya apabila nama-nama di atas ternyata menjabat menaker, adakah pengaruhnya? Melihat trend penurunan pergerakan buruh di tahun 2014 yang berlangsung sedemikian cepat (dibandingkan 2011-2013) maka siapapun yang
menjadi menaker tidak akan begitu berpengaruh bagi perjuangan buruh. Karena bagi buruh, siapapun yang mengisi jabatan tersebut tidak lebih sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang pada dasarnya adalah pihak yang selalu merugikan mereka. Bagi buruh, kepercayaan kepada pemerintah sudah nyaris ada di titik paling nadir. Dalam diskusi perburuhan, buruh selalu digambarkan sebagai yatim piatu, maka buruh harus mengandalkan kekuatannya sendiri dan jangan sampai menitipkan
nasibnya kepada janji-janji yang diberikan pemerintah. Tapi para buruh pun harus melakukan otokritik kepada dirinya sendiri, apakah selama ini
mereka telah meningkatkan kualitas diri melalui proses edukasi yang berkesinambungan? ataukah hanya mengandalkan aksi jalanan semata tanpa mau memperkaya wawasan diri sendiri? Karena kalau hanya mengandalkan aksi jalanan semata, sesungguhnya pergerakan buruh hanya berkutat di ‘lingkaran setan’ saja sejak dulu dimana hanya segelintir elit buruh saja yang mengerti apa itu edukasi buruh. ‘Lingkaran Setan’ inilah alasan
kenapa banyak penggiat buruh yang akhirnya menyerah dan menyeberang, karena mereka menghadapi tembok yang terlalu kokoh nan terjal yang harus dilewati. Mereka ada di titik dimana merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan hingga akhirnya mereka kembali menjadi ‘manusiawi’ antara lain menerima tawaran kenikmatan dari penguasa dan kapitalis (hitam) yang selama ini mereka lawan.

image

Buruh turun ke jalan